REVIEW : HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD
January 14, 2019
REVIEW : HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD
“It’s you and me, bud. Always.”
Disamping Toy Story keluaran Pixar, ada satu lagi franchise film animasi yang menggoreskan kesan cukup mendalam di hati, yakni How to Train Your Dragonproduksi DreamWorks Animation. Disadur dari rangkaian buku berjudul sama rekaan Cressida Cowell, franchise ini mengenalkan kita kepada satu karakter remaja yang canggung bernama Hiccup (disuarakan oleh Jay Baruchel) dan sahabatnya yang merupakan seekor naga berjenis nightfury, Toothless. Dimulai dari pertemuan di jilid pertama (2010) lalu berlanjut ke petualangan besar dalam How to Train Your Dragon 2 (2014), penonton bisa melihat adanya perkembangan pada kisah persahabatan mereka sekaligus karakteristik Hiccup. Tampak sikap saling respek antara satu dengan yang lain, tampak pula sikap yang menunjukkan keduanya saling mencintai dan melengkapi. Toothless menemukan harapan hidup untuk kaumnya berkat Hiccup, sementara Hiccup mampu melewati proses pendewasaan diri sehingga pada akhirnya diterima sebagai pemimpin oleh sukunya berkat bantuan Toothless. Di penghujung film kedua, mereka telah bertransformasi sebagai karakter ideal dan Hiccup telah menjadi satu pribadi yang diharapkan oleh sang ayah. Jika sudah begini, apa yang bisa dicelotehkan oleh How to Train Your Dragon 3: The Hidden World? Berhubung tujuan utama telah tercapai, maka tak ada cara lebih tepat dari mengakhiri narasi dengan memberi salam perpisahan kepada dua karakter inti dalam franchise ini.
Melalui jilid pamungkas yang mempunyai subjudul The Hidden World ini, kehidupan yang tampaknya ideal telah dipenuhi oleh Hiccup beserta penduduk Berk. Hiccup menjadi pemimpin yang disegani, sedangkan rakyatnya telah hidup rukun bersama para naga yang kini mendominasi populasi di Pulau Berk. Disaat para penduduk merasa baik-baik saja, intuisi Hiccup berkata bahwa mereka sudah saatnya menemukan tempat tinggal baru. Disamping karena kampung halamannya ini sudah tidak layak untuk ditinggali, faktor lain yang juga mendorongnya dalam mencari pulau anyar adalah keberadaan mereka sebagai pelindung naga telah terlacak oleh para pemburu naga. Salah satu pemburu tersebut, Grimmel (F. Murray Abraham), bahkan berambisi untuk memusnahkan jenis nightfury. Atau dengan kata lain, keberadaan Toothless terancam. Dalam perjalanan untuk menemukan ‘dunia tersembunyi’ dimana para naga bisa hidup dengan damai sentosa seperti kata mendiang ayah Hiccup, penduduk Berk memutuskan singgah sejenak di sebuah pulau. Di sini, Toothless berjumpa dengan seekor nightfury betina yang dipanggil Light Fury oleh kekasih Hiccup, Astrid (America Ferrera). Secara perlahan tapi pasti, benih-benih asmara mulai mengemuka diantara mereka yang lantas menghadapkan Toothless pada pilihan untuk meninggalkan sahabatnya dan memulai hidup baru di tempat yang jauh dari jamahan manusia. Ditengah pertempuran melawan Grimmel dan kegamangannya sebagai seorang kepala suku, Hiccup pun mau tak mau harus menyiapkan diri untuk merelakan kepergian sahabat terbaiknya ini.
Usai seri pembuka yang memunculkan rasa takjub dan jilid kedua yang menghadirkan banyak sekuens laga mendebarkan, instalmen paling kiwari dalamfranchise How to Train Your Dragon mencoba tampil bersahaja. Kamu memang masih akan dibuat terpukau oleh visualnya di sini seperti saat Hiccup beserta Astrid menjelajahi ‘dunia tersembunyi’ yang di dalamnya penuh karang bercahaya, atau animasinya yang menaruh detil lebih pada ekspresi maupun gestur tubuh para karakternya. Kamu pun masih akan menjumpai deretan laga mengasyikkan di sini yang sebagian besar berkaitan dengan operasi penyelamatan. Hanya saja, Dean DeBlois yang telah menempati kursi penyutradaraan sedari babak awal memilih untuk sedikit mereduksinya alih-alih melipatgandakan skalanya seperti kebanyakan jilid pamungkas dari franchisebesar. Keputusan nekatnya tersebut dilandasi oleh keinginannya untuk memberi kesempatan bagi tumbuh berkembangnya konflik batin yang dihadapi oleh Hiccup. Tentang bagaimana dia menyikapi amanat sebagai seorang pemimpin yang diserahkan kepadanya, tentang bagaimana dia menyikapi kemungkinan perginya Toothless yang selama ini membantunya melewati fase-fase sulit, dan tentang bagaimana dia akhirnya menemukan arti sesungguhnya dari “menjadi dewasa” sekaligus “menjadi pemimpin”. Sebuah keputusan yang sedikit banyak memberikan imbas kurang baik pada filmnya itu sendiri khususnya begitu menginjak pertengahan durasi.
Berbeda dengan dua pendahulunya yang terasa enerjik sepanjang durasi, The Hidden World sempat memiliki momen gontai yang berpotensi ciptakan rasa jenuh bagi penonton cilik maupun penonton dewasa. Pergolakan Hiccup yang diniatkan sebagai menu utamanya nyatanya tak pernah benar-benar dieksplorasi secara mendalam sehingga konsep “berjuang bersama” yang sempat diutarakan (merujuk pada posisi Hiccup serta hubungannya dengan Astrid) dan bagaimana relasinya dengan warga Berk terasa mentah. Kalau mau tak disebut datar, tentu saja. Yang kemudian membangkitkan instalmen penutup ini dari keterpurukan lebih jauh adalah suntikkan elemen komedi dari Toothless yang masih saja menggemaskan (apalagi saat dia merayu Light Fury!) plus celotehan kawan-kawan Hiccup yang sangat efektif dalam mengundang gelak tawa, rangkaian adegan laga beserta visualnya yang memukau seperti telah dijabarkan sebelumnya, serta babak klimaks yang pastinya akan mengundang haru bagi siapapun yang memiliki ikatan dengan franchise ini sedari awal mula. Ada ketidakrelaan melihat dua sahabat karib ini berpisah jalan, tapi di waktu bersamaan kita mampu memahami bahwa ini adalah jalan paling masuk akal yang bisa mereka tempuh. Meski pada akhirnya The Hidden World tidak menutup trilogi secara gegap gempita, tapi jilid ini tetap mampu memberikan salam perpisahan yang layak sekaligus indah bagi kisah persahabatan Hiccup-Toothless. Entah dengan kalian, tapi jujur, mata saya agak-agak kelilipan saat menyaksikan end credit yang menguarkan aroma nostalgia pada petualangan dua protagonis junjungan kita ini.
Post a Comment