JOKER
October 4, 2019
REVIEW : JOKER
“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a comedy.”
Siapa sih yang tidak mengenal Joker? Apabila kamu kerap bersentuhan dengan pop culture, karakter satu ini tentu tidak lagi asing. Memiliki perawakan menyerupai badut dengan kulit serba putih, rambut berwarna hijau menyala, dan bibir yang merah mengkilat, Joker dikenal sebagai supervillain yang menjadi lawan berat bagi jagoan andalan DC Comics, Batman. Dalam khasanah sinema Hollywood, psikopat dengan selera humor bernada gelap ini telah berulang kali dilakonkan oleh berbagai aktor. Dari Jack Nicholson yang tampil bengis dalam Batman (1989), lalu mendiang Heath Ledger yang menghidupkannya bak penjahat sinting lewat The Dark Knight (2008) dimana dia dianugerahi piala Oscar, sampai Jared Leto yang cenderung komikal melalui Suicide Squad (2016). Menilik beragam interpretasi yang telah diberikan kepada sang penjahat, dan kesemuanya mesti diakui dimainkan secara gilang gemilang, maka saat Warner Bros. bersama DC Films berencana untuk mengkreasi sebuah film solo berbentuk origin story baginya, tentu ada satu tanya mengemuka: apa lagi pendekatan yang hendak diambil? Pada mulanya, saya sempat mengira Joker garapan Todd Phillips (Road Trip, trilogi The Hangover) bakal sedikit banyak menyerupai The Dark Knight. Tapi ternyata, film yang dicanangkan sebagai bagian dari DC Dark – adaptasi eksperimental dengan nada penceritaan lebih gelap – alih-alih DC Extended Universe ini mengambil jalur sama sekali berbeda. Mengenyahkan unsur fantasi yang biasanya melekat erat pada tontonan berbasis komik kepahlawanan, Joker menjejakkan kakinya di ranah realis dimana film lantas mengajak penonton untuk memperbincangkan tentang mental illness dan situasi sosial politik dewasa ini.
Dalam Joker versi termutakhir, sang karakter tituler adalah seorang badut bernama Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) yang pekerjaan sehari-harinya berkisar pada menghibur anak-anak di rumah sakit, mempromosikan toko menggunakan papan penanda di trotoar, serta apapun yang diminta oleh klien. Menjalani pekerjaan serabutan semacam ini jelas bukan keinginan dari Arthur karena dia sejatinya bermimpi untuk manggung sebagai seorang stand up comedian. Yang kemudian menghalanginya untuk mewujudkan mimpinya adalah, dia tak memiliki kepercayaan diri yang mumpuni. Sang ibu yang tinggal bersamanya, Penny (Frances Conroy), menganggap putranya tersebut tak cukup lucu dan Arthur sendiri masih belum menemukan formula yang pas dalam candaannya. Disamping ketiga faktor ini, satu alasan lain yang membuat sang karakter utama senantiasa dilingkupi keragu-raguan adalah penyakit kejiwaan yang dideritanya. Arthur mengidap pseudobulbar affect (PBA) yang membuatnya kerap tertawa terbahak-bahak secara mendadak di kala dirinya mengalami kegelisahan atau ketakutan. Lantaran penyakit yang diidapnya, Arthur kerap dipandang sebagai orang aneh serta mengalami perisakan dari begundal-begundal di Gotham City yang membuatnya memiliki pandangan negatif terhadap masyarakat. Dia menilai masyarakat yang tumbuh di lingkungan sekitarnya telah mengalami degradasi moral, sementara para kaum elit dipandangnya hanya bisa membual tanpa pernah berbuat signifikan untuk merubah keadaan. Akibat berbagai situasi buruk yang terus menghampirinya ini, kondisi kejiwaan Arthur pun semakin tak stabil yang lantas memicunya untuk melakukan hal-hal mengerikan yang selama ini hanya menari-nari dalam pikirannya.
Tidak seperti tontonan live action lain yang melibatkan si badut, Joker bukanlah sajian laga yang dipenuhi dengan spektakel gegap gempita di sepanjang durasinya. Phillips yang membesarkan namanya dari genre komedi memilih untuk melantunkannya secara serius, realistis, serta kelam. Ini bukan soal supervillain bernama Joker yang menjalankan aksi-aksi sinting sampai bikin Batman kewalahan dalam menghadapinya, ini lebih ke proses terciptanya seseorang berjulukan Joker yang tak segan-segan bertindak keji. Guna mendedah transformasi sang karakter tituler dari manusia biasa yang cenderung tak berdaya menjadi sesosok manusia berbahaya yang dapat menggerakkan massa, Phillips menggunakan pendekatan studi karakter dalam menarasikan film terbarunya ini. Kita, sebagai penonton, didekatkan kepada Arthur untuk mengobservasinya demi melongok jalan pikirannya, demi mengetahui imbasnya kepada tindakan-tindakannya. Sebuah cara bercerita yang menarik dan ndilalah, Joker memang mempunyai karakter utama yang sangat kuat. Pada awal mula, Arthur tidak ditampakkan sebagai pribadi yang tega berbuat apapun demi membela dirinya. Malah, dia terlihat cukup simpatik. Berkenan untuk merawat sang ibu yang sudah berusia senja, berupaya untuk mengejar mimpi yang agak mustahil diwujudkan, berhadapan dengan rekan kerja yang bermuka dua, dan mengalami bullying dari orang-orang di sekelilingnya yang menganggapnya sebagai lelucon belaka. Diperankan secara luar biasa oleh Joaquin Phoenix yang rela menurunkan bobot tubuhnya sampai 24 kg, mustahil bagi penonton untuk tak menaruh rasa iba kepadanya. Lebih-lebih, Arthur juga masih harus berjuang dalam menghadapi penyakit kejiwaannya yang kerap berulah tanpa pernah pandang waktu maupun tempat. Penyakit kejiwaan yang semakin mengganas ketika trauma dan rasa sakit akibat penolakan, penghinaan, serta pengabaian bercampur menjadi satu.
Disokong musik menghantui gubahan Hildur Gudnadottir dan tangkapan kamera dari Lawrence Sher yang mengandalkan efek bokeh untuk menonjolkan kesendirian Arthur, Joker mengondisikan penontonnya untuk senantiasa berada dalam perasaan tak nyaman. Entah itu karena menyaksikan Arthur yang terus menderita karena masyarakat menunjukkan penolakan secara terang-terangan kepadanya, atau karena melihat kondisi Gotham City yang carut marut (seperti negara ini). Ya, selain menyuarakan komentar sosial menyentil terkait perlakuan publik yang nihil empati kepada penyandang mental illness, film berlatar tahun 1981 ini juga menggelontorkan potret relevan mengenai situasi dunia yang semakin tidak kondusif. Ada pertentangan kelas antara kaum elit dengan rakyat kecil, lunturnya rasa aman dalam ruang publik dimana pelecehan seksual jamak terjadi, media yang gencar melakukan framing, kepemilikan senjata yang kelewat leluasa, sampai pemujaan berlebih terhadap suatu tokoh yang dinilai mewakili gerakan anarki. Itulah mengapa, jika kamu mengidap anxiety, depresi, atau mood sedang kacau, ada baiknya menghindari Joker. Apabila benar-benar ingin menyaksikannya, sangat disarankan untuk mencari pendamping dari keluarga atau kawan baik karena sungguh, ada efek psikologis yang bisa ditimbulkannya. Beberapa orang mengalami pusing, serangan kecemasan, dan saya pribadi, uring-uringan. Rentetan adegan yang disodorkan oleh Phillips didominasi oleh aura pesimistis mengikuti pandangan Arthur kepada sekeliling yang acapkali negatif, lalu adegan kekerasan yang dimunculkannya pun tanpa tedeng aling-aling. Begitu sadis dengan daya sentak di level maksimal sampai-sampai saya memilih untuk mengalihkan pandangan sejenak dari layar guna mengatur nafas sekaligus emosi. Phew.
Mengedepankan nada pengisahan yang depresif, Joker yang sedikit banyak mengingatkan pada Taxi Driver (1976) ini memang tidak mudah untuk dikunyah. Selama durasi mengalun, kita menyaksikan pergulatan seorang anak manusia dalam menemukan kebahagiaannya. Arthur jatuh, lalu mencoba untuk bangkit hanya untuk tersungkur lebih dalam. Penokohan beserta akting Phoenix yang membumi – well, kita bisa menemui sosok seperti dia di sekitar kita – memungkinkan bagi penonton untuk bersimpati yang lambat laun berganti menjadi rasa ngeri tatkala Arthur menemukan jalan keluar bagi kesengsaraannya: balas dendam. Sedari sang tokoh utama memilih untuk membela dirinya sendiri dengan cara ekstrim, perasaan murung yang menguasai diri sedari awal pun berganti menjadi kegelisahan. Gelisah dalam menanti apa yang mungkin dilakukan oleh Arthur dalam persona barunya lantaran dia telah berada pada posisi nothing to lose. Pada titik ini, Phillips seolah ingin berujar, “Joker adalah produk dari kekerasan, ketidakadilan, serta pengabaian sosial.” Alih-alih meminta penonton untuk memafhumi tindakan dan pilihan hidupnya, si pembuat film justru ingin memberikan gambaran riil mengenai faktor yang melatarbelakangi terbentuknya seorang kriminal. Ada kompleksitas disana, tak seketika terbentuk tanpa alasan jelas. Ini bisa kita anggap sebagai sebuah informasi, tetapi juga sebagai sebuah pengingat. Agar kita lebih peka kepada sesama, agar kita memerlakukan manusia selayaknya manusia, dan agar kita menyadari bahwa mental illness adalah suatu kondisi yang sepatutnya ditangani secara serius. Bagus!
Post a Comment