Header Ads


http://816aman.com/

MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL

October 22, 2019

REVIEW : MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL


“This is no fairy tale.”

Pada tahun 2014 silam, Disney mencoba untuk sedikit bereksperimen terhadap produk layar lebar mereka. Alih-alih menggunakan kacamata si karakter tituler untuk interpretasi anyar terhadap dongeng klasik Sleeping Beauty, mereka justru menempatkan si karakter villain di poros utama pengisahan. Penonton disodori premis menggiurkan berbunyi, “apa yang sebenarnya membuat Maleficent begitu kejam sampai tega melukai seorang manusia berhati lembut seperti Aurora?,” yang tentu saja sulit untuk ditolak. Menempatkan Angelina Jolie sebagai si tokoh jahat yang memiliki ciri khas fisik berupa tulang pipi tajam, tanduk, serta sayap, khalayak ramai pun menyambutnya secara antusias sekalipun film memperoleh respon beragam dari kritikus. Satu paling disorot, penggunaan CGI terlampau berlebihan sampai-sampai narasinya terpinggirkan. Padahal, dekonstruksi atas dongeng ini dimana Maleficent dideskripsikan sebagai “makhluk baik yang tersakiti” sejatinya punya kesempatan untuk menciptakan gelaran mengharu biru. Cukup disayangkan, memang. Mencoba memperbaiki kesalahan tersebut – atau lebih tepatnya, ingin mendulang dollar lebih besar lagi – maka pihak studio pun berinisiatif untuk mengkreasi cerita kelanjutan bagi Maleficent dengan menggunakan subjudul Mistress of Evil. Sebuah trik jualan yang lagi-lagi mesti diakui jitu lantaran subjudul ini akan mengundang ketertarikan bagi sebagian penggemar. Ada satu tanya yang lantas muncul: apakah benar karakter jahat yang telah bertaubat di film sebelumnya, akhirnya memilih untuk kembali bertindak zalim ketimbang bertahan di jalan kebaikan?

Sama sekali bukan spoiler jika kemudian saya berujar, “tidak. Si karakter tituler tetaplah baik.” Berbagai materi promosi yang ditebar oleh rumah produksi telah mengindikasikan bahwa Kak Mal lagi-lagi disalahpahami dan bukan betulan jahat. Dalam Mistress of Evil yang latar penceritaannya berselang lima tahun selepas film pertama, pemicu persoalannya adalah agenda pernikahan dari Putri Aurora (Elle Fanning) dan Pangeran Phillip (Harris Dickinson). Dua insan ini memang bisa dibilang sejajar secara kasta. Hanya saja, Phillip berasal dari sebuah wilayah bernama Ulstead yang masyarakatnya dikenal sangat membenci ibu angkat dari calon mempelai perempuan, Maleficent. Tak heran jika kemudian Maleficent mengajukan keberatannya begitu mendengar sang putri akan menikahi seseorang dari Ulstead. Dalam benaknya berkecamuk, bagaimana mungkin dia bisa memberikan kepercayaan terhadap orang-orang yang menganggapnya sebagai makhluk jahat? Meski sulit baginya untuk memberikan restu, toh karakter utama ini bersedia memenuhi undangan makan malam dari orang tua Phillip di istana demi membahagiakan Aurora. Bahkan dia mempersiapkan diri sebaik mungkin agar tak menyinggung perasaan para calon besan. Hasilnya, acara makan malam pun berlangsung dengan baik… atau setidaknya begitu pada mulanya. Namun setelah Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) melontarkan pertanyaan beserta pernyataan bernada sarkasme kepada Maleficent, ketegangan pun tercipta diantara mereka. Segalanya lantas lepas kendali saat sang raja mendadak pingsan dan semua orang di ruangan menganggap Maleficent telah meluncurkan sebuah kutukan, termasuk Aurora.


Seperti halnya sang pendahulu, jika ada satu hal yang bisa diharapkan dari Mistress of Evil, maka itu adalah tampilan visualnya yang membuai mata. Dari menit pembuka yang memberi kita pemandangan berupa hamparan area Moors yang berwarna-warni dan dihuni oleh bangsa peri, lalu Ulstead yang menggambarkan suatu daerah kerajaan di abad pertengahan, penonton telah dikondisikan untuk terperangah. Kalau ini belum cukup untukmu, nantikan saja kunjungan Maleficent ke wilayah yang didiami makhluk-makhluk sebangsanya, Dark Fey, dimana kita akan melihat satu bidikan gambar menakjubkan yang melibatkan sangkar burung. Angelina Jolie tampak begitu memesona di sini (serius, dia terlihat bagaikan dewi!), begitu pula dengan komposisi gambarnya. Andaikata lokasi ini nyata adanya, bersiaplah untuk melihatnya bertebaran di akun-akun Instagram dengan bubuhan tagar AkuAdalahMaleficent. Tapi sayangnya, lokasi tersebut tersembunyi di dalam Studio Pinewood, Inggris, dan sayangnya pula, keindahan visual di jilid kedua ini lagi-lagi dimanfaatkan untuk menutupi narasinya yang kurang cihuy. Ditangani oleh sutradara berbeda sekali ini, Joachim Ronning (Kon-TikiPirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales), tak terdeteksi adanya perubahan secara signifikan kecuali pada nada pengisahan yang menjadi lebih ceria ketimbang muram dengan nuansa gothic. Selaiknya sang predesesor, Mistress of Evil pun tak cukup piawai dalam menjerat atensi sekaligus memainkan emosi penonton melalui guliran penceritannya di sepanjang durasi. Keluhan terbesar yang bisa diutarakan darinya adalah film mempunyai plot kelewat sesak sehingga menyebabkan setiap konflik yang diajukan tidak pernah bisa berkembang secara maksimal. 
    
Disamping kisah kasih Aurora-Phillip, film juga menyoroti soal rencana jahat Ratu Ingrith dan keberadaan Dark Fey yang baru terdeteksi oleh karakter antihero kita. Ketika film memulai pembicaraannya dengan “pertemuan dua besan dengan sudut pandang berbeda jauh”, saya mengira film akan menyoroti dinamika hubungan dua keluarga jelang hari pernikahan yang sejatinya akan menarik apabila digali lebih mendalam. Tapi pihak pembuat film menginginkan narasi dengan cakupan skala yang bombastis sehingga mereka pun menciptakan cabang-cabang pengisahan demi memberi alasan agar film bisa diakhiri dengan pertempuran akbar. Sebetulnya, tidak semua cabang pengisahan ini terasa dipaksakan kemunculannya, misalnya perihal Dark Fey yang memberi kesempatan bagi film untuk mengekspansi world building. Hanya saja, karakter-karakter di sektor ini seperti Conall (Chiwetel Ejiofor) dan Borra (Ed Skrein) hanyalah karakter satu dimensi dengan satu tujuan, perdamaian atau peperangan, karena film tidak mempunyai banyak waktu untuk mengelaborasinya. Sementara saat film berkutat pada narasi dua sejoli maupun Ratu Ingrith, keadaannya malah lebih buruk. Michelle Pfeiffer memang bermain bagus sebagai Ratu Ingrith, tapi penggambaran karakternya yang kelewat berlebihan – termasuk motivasinya yang mengada-ada – justru membuat sosoknya kehilangan sisi intimidatifnya dan berpengaruh pula pada kandungan emosi film. Jika Maleficent diperlihatkan memiliki sisi baik dibalik tampilan kejamnya, mengapa ini tidak diberlakukan juga untuk karakter Ingrith? Emosi yang dihantarkan oleh film bisa jadi akan lebih maksimal apabila Ingrith masih dimunculkan sisi manusiawinya ketimbang sebatas jahat tanpa ampun. Terlebih, dia adalah ibu kandung dari Phillip.


Ya, saya kecewa dengan pilihan si pembuat film untuk mengantagonisasi seorang ibu kandung hanya demi memperkuat sosok Maleficent yang dikisahkan sangat peduli pada Aurora sekalipun dia bukanlah ibu yang melahirkannya. Menjadikannya kejam dengan alasan melindungi keluarga dan kerajaan, masih bisa dipahami. Tapi merencanakan pembantaian habis-habisan suatu kaum sampai mengabaikan kebahagiaan keluarganya sendiri? Mohon maaf, ini sudah kelewat batas. Dan setahu saya, Mistress of Evil masih produk Disney untuk seluruh anggota keluarga yang semestinya tidak perlu bertindak sejauh itu hanya untuk menciptakan spektakel di babak ketiga. Yang kemudian menjadi korban dari narasi yang kelewat terobsesi pada upaya untuk relevan dengan memperbincangkan soal genosida maupun hasrat berperang adalah karakter Aurora-Phillip. Terasa manis dalam adegan Phillip melamar Aurora, sayangnya kedua karakter ini tidak punya kontribusi besar pada pergerakan kisah. Mereka tiba-tiba… tak berdaya. Phillip terlihat kebingungan hendak bertindak apa, sedangkan Aurora adalah definisi dari bucin sejati. Ditengah tren “putri mandiri dan tangguh” yang sedang dibangun oleh Disney, sungguh mengherankan melihat Aurora yang bikin saya sebal bukan kepalang lantaran lebih percaya kepada keluarga tunangannya yang baru dikenalnya ketimbang ibu angkatnya yang telah merawatnya bertahun-tahun. Seriously? Saya tahu Maleficent memang memiliki reputasi buruk, tapi bagaimana mungkin kamu bisa percaya begitu saja saat anggota keluargamu difitnah? Durhaka kamu, Mbak Bucin!

Dengan jalinan pengisahan seruwet dan semengesalkan ini yang lantas diselesaikan secara mudah sekali akibat kuota durasi yang semakin menipis, sulit bagi saya untuk menginvestasikan emosi kepada Mistress of Evil. Maka begitu film menginjak pertengahan durasi, saya pun terserang kantuk saking tak sanggupnya lagi untuk peduli kepada nasib para karakternya. Jika ada yang tetap membuat saya bertahan, maka itu adalah tampilan visualnya yang mewah, performa bagus dari Angelina Jolie terutama saat dipersilahkan untuk memamerkan kemampuannya dalam ngelaba (adegan jelang makan malam saat Maleficent berlatih ramah itu lucu sekali!), dan fakta bahwa saya telah menyisihkan sejumlah dana untuk menyaksikan film ini di bioskop. Sebuah film berdasar dongeng pengantar tidur yang beneran bisa bikin tidur.

Acceptable (2,5/5) 


No comments