Header Ads


http://816aman.com/

DANUR 3: SUNYARURI

September 28, 2019

REVIEW : DANUR 3: SUNYARURI


“Mungkin pertemanan kami sejak awal memang hanya sebuah celaka.”

Didasarkan pada rangkaian novel laris rekaan Risa Saraswati yang konon kabarnya merupakan novelisasi dari pengalaman nyata si penulis indigo ketika bersinggungan dengan alam seberang, Danur berkembang menjadi salah satu franchise tontonan horor paling menguntungkan dalam sejarah sinema tanah air. Dimulai dari jilid pertama yang berhasil membukukan 2,7 juta penonton, MD Pictures bersama Pichouse Films selaku rumah produksi kembali mencicipi kesuksesan melalui sekuelnya bertajuk Danur 2: Maddah (2018) yang mencetak 2,5 juta penonton serta film sempalannya, Asih (2018), yang masih sanggup menorehkan angka sebesar 1,7 juta penonton sekalipun tanpa sokongan si karakter inti yang diperankan oleh Prilly Latuconsina. Menilik pencapaian di tangga box office yang tergolong impresif dari seri ke seri, tentu tak mengherankan jika pihak rumah produksi lantas memberi lampu hijau secara seketika bagi penggarapan jilid ketiga yang tercatat sebagai babak pamungkas bagi seri induk dalam versi novelnya. Selepas mengulik pergulatan batin Risa kala mendapati dirinya mampu berkomunikasi dengan makhluk halus di film pembuka, lalu membahas soal upaya si protagonis dalam memperoleh penerimaan dari anggota keluarganya yang merasa terganggu di film kedua, saya yang tidak pernah mengikuti materi sumbernya pun bertanya-tanya. Apa yang akan diulas oleh Danur 3: Sunyaruri yang dipersiapkan menjadi seri penutup ini? Tak jauh berbeda dari sang predesesor, ternyata persoalan yang diajukan kali ini masih berkisar pada hubungan serba rumit yang terjalin diantara Risa dengan kawan-kawan gaibnya.

Yang membuat hati Risa (Prilly Latuconsina) mengalami kegalauan dalam Danur 3: Sunyaruri adalah keinginannya untuk menjalani kehidupan yang normal. Berkawan akrab dengan manusia-manusia yang usianya sebaya, alih-alih sekumpulan bocah keturunan Belanda dari dimensi lain. Melalui babak perkenalan serta voice over yang dihantarkan oleh si protagonis, penonton diberi penjelasan mengenai hubungan antara Risa dengan teman-teman hantunya yang terdiri dari Peter, Janshen, William, Hendrick, dan Hans, yang tidak lagi hangat. Ketimbang menerima ajakan kelima hantu ini untuk bermain bersama, Risa lebih memilih untuk berkumpul bersama kekasihnya, Dimas (Rizky Nazar), yang berprofesi sebagai penyiar radio beserta rekan-rekan kerjanya seperti Clara (Steffi Zamora), Raina (Syifa Hadju), Anton (Umay Shahab), dan Erick (Chicco Kurniawan). Tidak ingin Risa semakin menjauh, Peter cs pun terus berupaya mendekati sahabat manusianya ini yang justru memberikan efek sebaliknya. Risa memutuskan untuk menutup mata batinnya lantaran enggan diusik oleh bocah-bocah hantu tersebut. Mengira persoalan akan selesai begitu saja, nyatanya Risa malah mendapati keganjilan demi keganjilan selepas tak lagi bisa melihat hantu. Matanya mengalami kebengkakan parah tanpa diketahui penyebabnya, beberapa halaman dalam naskah bukunya mendadak raib, dan hujan terus mengguyur rumahnya tanpa henti. Pada mulanya, Risa tidak menganggap tiga hal ini sebagai masalah genting sampai kemudian dia menyadari bahwa dirinya masih bisa mencium bau danur (baca: bau busuk dari mayat) di sekelilingnya sekalipun gerbang komunikasi dengan alam lain telah ditutup.


Menengok pada materi pengisahan yang diajukan, Danur 3: Sunyaruri sejatinya memiliki potensi besar untuk tersaji sebagai gelaran horor yang menggigit. Pada menit-menit awal, Awi Suryadi yang masih nyaman menduduki kursi penyutradaraan seolah mengisyaratkan bahwa babak pamungkas ini akan mengoyak-ngoyak emosi penonton. Hubungan Risa dengan Peter cs diperlihatkan merenggang, Peter cs pun seolah dirundung sepi sekaligus luka lantaran merasa diabaikan. Ditunjang oleh permainan kamera dan tata artistik yang memberikan atmosfer creepy, Danur 3: Sunyaruri memang memulai langkahnya secara meyakinkan. Tak ada lagi iringan musik memekakkan telinga, tak ada lagi memedi yang menampakkan diri secara sesuka hati, dan Awi pun seolah berusaha untuk memaparkan cerita dengan hati-hati di sini. Penonton diajak melihat Risa berproses dari semula enggan bersentuhan dengan dunia gaib, lalu merasakan kelegaan untuk sesaat, sampai akhirnya menyadari bahwa ‘kehidupan normal’ bukanlah untuk dirinya. Dia merasa sunyi tanpa kehadiran dari Peter, Janshen, William, Hendrick, dan Hans yang karena suatu hal namanya harus selalu disebut lengkap secara berurutan di film… berulang kali. Penampilan prima dari Prilly Latuconsina – dimana kali ini dia tampil sedikit berbeda dengan riasan mata bengkak – memungkinkan bagi kita untuk bersimpati sekaligus sebal kepada sang karakter utama. Bersimpati karena kita mengetahui ada beban tersendiri dalam menjalani kehidupan sebagai seorang indigo, sementara sebal karena kita melihat dia telah menempuh cara yang salah untuk mengenyahkan Peter beserta kawanannya. Terlampau kasar.

Berkaca pada komposisi serba baik yang diusungnya, saya sempat optimis Danur 3: Sunyaruri akan menjadi seri terbaik sekaligus penutup yang memuaskan bagi franchise. Tapi setelah film berjalan selama kurang lebih 30 menit, satu demi satu persoalan mengemuka yang dimulai dari: plot berjalan di tempat. Kondisi hujan deras tak berkesudahan dan mata bengkak menyebabkan Risa sulit untuk bepergian sehingga latar penceritaan pun urung berekspansi. Ini sebetulnya bukan suatu problematika apabila si pembuat film dapat mengakalinya dengan teror kreatif maupun narasi berisi. Dalam kasus Danur 3: Sunyaruri, penonton nyaris tak mendapati apapun kecuali adegan Risa berkeliling rumah, lalu diserang hantu, membuka laptop, lalu diserang hantu, yang terkesan repetitif. Memang ada satu momen cukup mencekam di pertengahan durasi yang melibatkan baskom – ini dan adegan di panggung pada awal durasi adalah momen terbaik dalam film – tapi adegan tersebut sayangnya tak dimanfaatkan untuk menghantarkan film ke situasi lebih intens. Apa yang dijumpai oleh penonton selanjutnya adalah Risa yang masih saja berputar-putar di rumah tanpa ada peristiwa berarti sehingga kamu tidak akan ketinggalan apapun apabila memutuskan untuk rehat sejenak ke toilet. Laju pengisahan yang berlangsung cenderung datar-datar saja bahkan ada kalanya membosankan karena tak juga dibarengi trik menakut-nakuti mumpuni ini tentu membuat saya gemas bukan kepalang mengingat Awi beserta Lele Laila selaku penulis skenario sebetulnya mempunyai modal mencukupi untuk memberikan detak lebih kencang pada film.


Barisan karakter pendukung yang mencakup Clara, Raina, Anton, dan Erick dibiarkan begitu saja, sementara Dimas dan adik Risa, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), pun tak diberi banyak kesempatan untuk berkontribusi. Berhubung film hendak bercerita mengenai upaya Risa untuk menjalin pertemanan dengan manusia sebaya, maka terasa sangat janggal saat film membatasi interaksi antara Risa dengan karakter-karakter lain. Kita hanya pernah melihatnya melakukan video call dengan Dimas, sedangkan bersama empat karakter lain, mereka sebatas dipertemukan di satu pesta ulang tahun. Lantas dimana letak upayanya? Apa fungsi keberadaan mereka selain demi meriuhkan suasana untuk sesaat? Saya justru melihat, Risa sangat menikmati kesendiriannya. Dia tak tampak peduli dengan Riri, dia juga tak menaruh minat pada Peter cs. Maksud saya, persahabatan antara si protagonis dengan kawan-kawan hantunya ini pun tak pernah dieksplorasi mendalam kecuali melalui satu dua kilas balik dan voice over. Itulah mengapa saat Danur 3: Sunyaruri mengedepankan suatu momen emosional, saya tak merasakan apapun. Karena saya tak pernah merasakan adanya hubungan pertemanan yang tulus diantara mereka. Disamping itu, kehadiran momen ini dilangsungkan tepat setelah sebuah twist sangat menggelikan yang membuat saya lagi-lagi berujar, “hamba lelah dengan semua ini.” Tanpa ada aba-aba, tanpa diberi petunjuk memadai (hanya melalui satu adegan berkenaan dengan toilet, duh!), sebuah adegan bersifat “pengungkapan misteri” muncul. Ketimbang memedulikan motif sang villain yang amburadulnya melebihi kamar saya, saya justru lebih penasaran dengan motif si pembuat film dalam menghadirkan adegan yang sungguh mengganggu ini. Mengapa harus ada? Whyyy???

No comments