MAKMUM
ugust 20, 2019
REVIEW : MAKMUM
“Memang ada setan yang khusus mengganggu orang sholat.”
Guys, apakah kalian pernah merasa tiba-tiba merinding dan
seolah-olah ada makmum saat sedang sholat sendirian di malam hari? Seolah-olah
ada seseorang ikut sholat di belakang kita, padahal tak ada seorang pun di
sekitar? Saya pernah merasakannya yang menyebabkan ibadah menjadi tidak khusyuk
serta mengalami kegelisahan. Jika tidak sanggup mengatasi kegelisahan ini,
kadang saya membatalkannya lalu memulai sholat kembali dengan membelakangi
tembok. I know it sounds silly, but it
works for me! Melihat angka penonton yang terhitung tinggi untuk film
pendek arahan Riza Pahlevi, Makmum,
di situs Youtube, saya curiga, banyak diantara khalayak yang pernah mengalami
pengalaman serupa. Entah dipengaruhi faktor supranatural atau semata-mata disebabkan
imajinasi yang kelewat liar lantaran seorang diri di rumah. Satu yang jelas,
publik terkoneksi dengan apa yang dicelotehkan oleh film berdurasi 8 menit ini
sampai-sampai rumah produksi Dee Company beserta Blue Water Films merasa perlu
untuk mengembangkannya menjadi film layar lebar. Sang kreator tidak lagi direkrut
menjadi sutradara untuk versi panjang yang sekali ini diserahkan kepada Hadrah
Daeng Ratu yang sebelumnya berpengalaman menggarap dua film seram dengan
kualitas bertolak belakang, Jaga Pocong
(2018) dan Malam Jumat The Movie
(2019). Mengingat materi sumbernya yang serba terbatas dalam hal narasi tapi
efektif membangun kengerian, satu pertanyaan lantas muncul, bisakah versi
perpanjangannya ini tampil lebih baik?
Dalam Makmum edisi bioskop, penonton diperkenalkan pertama kali pada
seorang perias mayat bernama Rini (Titi Kamal). Oleh dua penulis skenario, Alim
Sudio beserta Vidya Talisa Ariestya, Rini dibuat mempunyai latar belakang
menarik yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan arwah penasaran. Saya pun
seketika diliputi keingintahuan, apa ya yang menyebabkan munculnya “bakat” ini
dan bagaimana signifikansinya pada pergerakan kisah? Selepas perkenalan singkat
dimana Rini dikisahkan tidak sanggup membayar uang kontrakan, kita pun dibawa
menuju sebuah asrama putri di kawasan Sragen. Konon, di sinilah Rini sempat
tinggal selama masa remajanya. Kunjungan Rini ke asmara tersebut dalam rangka
memenuhi undangan dari mantan kepala asmara yang kini sakit-sakitan, Bu Kinanti
(Jajang C. Noer). Beliau merasa, Rini memenuhi kualifikasi untuk menggantikan
Rosa (Reny Yuliana), kepala asmara baru yang luar biasa disiplin dan keras.
Saking kerasnya, Rosa tidak mengizinkan tiga penghuni asrama; Nurul (Tissa
Biani), Putri (Adila Fitri), dan Nisa (Bianca Hello), untuk berlibur lantaran
nilai mereka tidak memenuhi standar. Alhasil, ketiga remaja ini terperangkap di
asrama dimana mereka mengalami serentetan gangguan gaib setiap kali menjalankan
ibadah sholat malam. Sementara Rosa menganggap gangguan tersebut sebagai bualan
belaka, Rini justru tertarik untuk menyelidikinya. Dibantu oleh seorang guru
agama, Ustad Ganda (Ali Syakieb), Rini beserta tiga remaja penghuni asrama pun
berusaha menguak siapa sesungguhnya si hantu makmum yang selama ini mengusik
ketenangan mereka.
Mesti diakui, Makmum mempunyai gagasan mumpuni untuk
dikembangkan menjadi tontonan horor religi yang menggigit. Soal memedi yang
menebar teror di saat seseorang sedang sholat, soal memedi yang kebal dengan
lafal-lafal dari kitab suci. Terlebih lagi, seperti sudah disinggung sebelumnya,
bangunan karakter utamanya juga mengundang keingintahuan lantaran dia memiliki
kesadaran serta keberanian untuk menghadapi makhluk dari alam lain. Ditambah dengan
adegan pembuka meyakinkan yang mereka ulang adegan dari film pendeknya yakni
salah satu karakter mengalami gangguan ketika tengah menjalankan sholat
tahajud, Makmum telah mengindikasikan
bahwa dirinya bukanlah film seram asal-asalan. Seperti kerap dibikin oleh sang
produser, Dheeraj Kalwani atau KK Dheeraj atau pendiri Dee Company. Melalui tontonan
ini, Hadrah Daeng Ratu yang cukup berhasil dalam meramu Jaga Pocong membuktikan dirinya memang kompeten perihal menciptakan
rasa ngeri. Atmosfer yang membuat bulu kuduk bergidik bisa ditemui di sini,
khususnya saat film membawa penonton menyusuri lorong, memasuki kamar, serta
berada di musholla. Satu dua trik menakut-nakuti bertipe jump scares juga terbangun dengan baik tanpa harus mengandalkan
iringan musik memekakkan telinga sampai-sampai sejumlah penonton di samping
saya dibuat terlonjak hebat dari kursi utamanya pada adegan “mengintip lemari”.
Saya pribadi menyukai teror dalam adegan yang memperlihatkan Nurul dan Ustad
Ganda sedang sholat karena melalui adegan yang lekat dengan keseharian inilah, Makmum benar-benar tampil mencekam.
Usai mengucurkan keringat dingin
penonton pada 30 menit pertama, sayangnya Makmum
tidak mampu menjaga tensi di sisa durasi yang tergolong kedodoran. Problematika
terbesarnya bersumber dari skrip yang lemah dan tidak konsisten. Alih-alih
menggali premis yang sejatinya berpotensi memunculkan narasi menggugah keimanan
seperti katakanlah Munafik (2016),
film justru berakhir generik dimana karakternya digambarkan mengalami teror tak
berkesudahan, lalu salah satu diantara mereka dipersenjatai benda tajam demi
menghadirkan nuansa gore, dan sang villain mengedepankan motif janggal maupun “aturan
main” sesuka hati. Ini jelas disayangkan mengingat film tadinya telah bersusah
payah untuk memberi latar berbeda bagi protagonis utama serta sempat pula menyinggung
soal setan pengganggu saat sholat. Tapi kedua hal tersebut malah dihempas
begitu saja bersama dengan backstory
untuk karakter-karakter pendukung yang kesemuanya hanya dijabarkan melalui satu
kalimat. Ada banyak hal membingungkan di sini, termasuk pemilihan Sragen
sebagai setting dan asal kota untuk tiga serangkai penghuni asmara. Apa signifikansinya?
Makmum tidak pernah memberi alasan
dan setelah film memasuki babak ketiga yang mempersembahkan momen-momen “lucu”,
saya pun memilih untuk berhenti mempertanyakannya. Seperti saya berhenti
memedulikan nasib para karakternya yang dimainkan seadanya oleh barisan pemain
termasuk Titi Kamal yang kemampuan berlakonnya tersia-sia di sini. Satu-satunya
yang terhitung baik dalam berlakon adalah Tissa Biani yang lihai dalam menyampaikan
emosi, sekalipun penggunaan Bahasa Jawanya yang acapkali salah kaprah cukup
mengganggu.
Saya pun mendengus kecewa di
penghujung film. Makmum yang memiliki
kesempatan besar untuk berhasil, nyatanya terseok-seok tatkala memasuki
pertengahan dan malah semakin menjadi-jadi begitu mencapai klimaks. Andai saja penceritaan
tetap bertahan pada mitologi “hantu makmum” lalu memilih untuk memperbincangkan
soal keteguhan iman dalam beribadah kepada Tuhan – yang sejatinya relevan
dengan situasi masyarakat masa
Post a Comment