IMPERFECT
December 20, 2019
REVIEW : IMPERFECT
“Jika kesempurnaan membuatmu bahagia, maka beri aku waktu untuk belajar menerima itu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaanmu.”
Siapa sih yang tidak pernah
merasa insecure? Rasa-rasanya, setiap
manusia di muka bumi ini pernah mengalaminya dalam satu fase hidupnya dengan
kadar yang tentu berbeda-beda. Ada yang minor
sehingga beberapa waktu kemudian lantas bisa menghempaskannya dari pikiran,
tapi tak sedikit pula yang major
sampai-sampai mempengaruhi setiap langkah dalam kehidupannya. Imbasnya, rasa
percaya diri pun merosot drastis yang menyulitkannya untuk berpikir positif. Biasanya,
efek yang sedemikian besar tersebut dipicu adanya bullying atau body shaming
dari lingkungan sekitar. Ujaran semacam “kamu
gendutan ya?”, “kamu kurus banget
deh, nggak pernah makan ya?”, maupun “kulitmu
item banget,” yang umumnya dipergunakan sebagai kalimat pembuka dari suatu
basa-basi, tanpa disadari telah berkembang menjadi sesuatu yang beracun dan
berbahaya. Terlebih lagi, kita hidup di era dimana media menciptakan standar
kecantikan/ketampanan diluar batas kewajaran yang membuat perasaan insecure menjadi semakin membumbung
tinggi serta sulit dikendalikan. Menyadari adanya fenomena tidak sehat yang
tengah menggerogoti generasi muda masa kini, Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet) pun berinisiatif untuk mengkreasi tontonan
bertajuk Imperfect yang disadur dari
buku non-fiksi berjudul sama rekaan sang istri, Meira Anastasia. Melalui buku
tersebut serta film ini, pasangan Ernest-Meira mencoba menggaungkan pesan positif
untuk kita semua yang sedang (atau pernah) merasa rendah diri akibat penampilan
fisik yang tidak termasuk dalam kriteria sempurna. Pesan tersebut berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi tidak sempurna
karena yang terpenting bukanlah menjadi sempurna, melainkan menjadi pribadi
yang bahagia dan berguna bagi sesama.”
Meski didasarkan pada buku yang
berisi pengalaman-pengalaman Meira dalam menghadapi rasa insekyur lantaran
merasa dirinya tidak memenuhi definisi “cantik” yang dipercayai oleh publik,
versi layar lebar dari Imperfect bukanlah
sebentuk autobiografi. Di sini, Ernest mengkreasi satu karakter fiktif bernama
Rara (Jessica Mila) yang secara fisik sama sekali tidak memenuhi ekspektasi
dari masyarakat mengenai sosok perempuan ideal. Rara digambarkan memiliki bobot
jauh diatas rata-rata, kulitnya terbilang gelap, dan dia juga tidak melek
fashion. Penampilannya mirip dengan almarhum ayahnya dan sangat jauh berbeda
dengan sang ibu, Debby (Karina Suwandi), yang dulunya berprofesi sebagai
peragawati, dan adiknya, Lulu (Yasmin Napper), yang dielu-elukan di Instagram. Meski
kerap dibanding-bandingkan dengan Lulu sekaligus mendapat body shaming dari orang di sekelilingnya, Rara tidak merasa ada
yang diubah dari dirinya. Dia menganggap tubuhnya yang jauh dari ideal ini
sebagai kutukan yang sebaiknya diterima dengan lapang dada. Toh sang kekasih,
Dika (Reza Rahadian), menerima dirinya secara apa adanya. Tak pernah sekalipun
meminta Rara untuk mengubah penampilannya. Jadi mengapa dia harus mengikuti
standar kecantikan yang dangkal ini? Tapi pemikiran Rara ini lantas berganti
saat atasannya, Kelvin (Dion Wiyoko), menuntut dia untuk menjalani make over dengan batas waktu satu bulan apabila
ingin naik jabatan di kantor. Rara yang tadinya enggan berolahraga serta kerap
mengonsumsi junk food pun berusaha
mati-matian untuk mengubah penampilannya yang sayangnya turut dibarengi pula dengan
perubahan sikap. Secara tiba-tiba, baik Dika, Lulu, maupun sahabat karib Rara,
Fey (Shareefa Daanish), tidak bisa lagi memahami jalan pemikiran dan sudut
pandang Rara yang sudah sangat berbeda.
Selepas menonton Imperfect di layar lebar, ada satu hal
yang saya lakukan, yakni menyeka air mata. Bukan karena filmnya sebegitu pedihnya
sampai meremas-remas emosi, melainkan karena saya merasakan sebuah kebahagiaan
yang muncul berkat pesan indah yang diutarakannya. Mengenai menerima diri
sendiri secara apa adanya, mengenai kebahagiaan yang akan mengikuti saat kita
sudah bisa berdamai dengan diri sendiri. Sebagai seseorang yang pernah
mengalami body shaming (ditambah
lagi, bullying) selama bertahun-tahun
lamanya lantaran saking kurusnya, saya bisa memahami bagaimana perasaan Rara
dan karakter-karakter lain yang mengalami insecure
dengan bentuk tubuhnya. Dampaknya memang sangat merusak karena pada akhirnya,
ada rasa percaya diri yang diobrak-abrik sehingga keyakinan untuk bisa
menjangkau mimpi pun turut dibuat goyah olehnya. Imperfect mencoba untuk berkontribusi dalam memutuskan rantai
beracun ini dengan membangun kesadaran penonton mengenai efek yang bisa
disebabkan oleh body shaming seraya membesarkan
hati mereka yang tengah terjatuh. Seperti halnya film-film Ernest terdahulu,
penyampaiannya pun dikondisikan untuk senantiasa ringan-ringan saja dan
dipenuhi dengan canda tawa di sepanjang durasi agar bisa diterima oleh penonton
secara luas. Ya, jika kamu datang ke bioskop dengan pengharapan dapat menemukan
obat pelepas penat, Imperfect masih
sangat sanggup untuk memenuhinya. Bahkan bagi saya, inilah film terlucu dari Ernest. Setiap karakter diberi amunisi
untuk melontarkan humor yang sebagian besar diantaranya mulus mengenai sasaran,
tapi ada dua sumber kelakar terbesar dalam film yang terdiri dari “genk kantor
Rara” dimana kita dihadapkan dengan Rey yang ceplas ceplos serta Wiwid (Devina
Aureel) yang cenderung telmi, serta “genk anak kos” yang mempertemukan penonton
dengan empat penghuni kos di rumah Dika yang pembawaannya nyentrik. Dari dua
kubu berbeda ini, saya dibuat tergelak-gelak berulang kali oleh Shareefa
Daanish, Devina Aureel, Zsazsa Utari, dan Kiky Saputri yang mesti diakui memiliki
comic timing juara.
Yang sedikit unik kali ini,
Ernest tak sekadar menggunakan karakter-karakter tersebut sebagai pemancing
tawa belaka. Mereka dilibatkan ke dalam narasi utama, dan keberadaan mereka
turut difungsikan untuk melontarkan dua komentar berbeda. Dari “genk anak
kantor”, kita memperoleh topik pembicaraan tentang pemujaan terhadap sosok
ideal. Sedangkan melalui “genk anak kos”, kita mendapati topik tentang memandang
ketidaksempurnaan dari perspektif lain. Apakah benar apa yang selama ini kita
anggap “ketidaksempurnaan” adalah sesuatu yang buruk, atau justru itu membuat
kita sebagai pribadi yang unik dan berciri khas? Apabila bahan renungan ini
belum cukup menggugah, maka tunggu sampai kamu mendapati problematika yang
mendera Rara. Tidak seperti ditampakkan dalam trailer (dimana banyak orang mencibir
keputusan Ernest mengubah si protagonis menjadi cantik), ada alasan-alasan
masuk akal nan kompleks yang mendorong Rara untuk bertransformasi, dan perubahan
tersebut tidak lantas dipilih oleh si pembuat film sebagai solusi atas segala
permasalahan yang merongrongnya. Imperfect
tidak berceloteh sedangkal itu. Justru, ada tantangan lain yang harus
ditaklukkan tatkala Rara memilih untuk memenuhi permintaan sang atasan. Tantangan
yang tidak pernah dipersiapkannya ketika dia mendamba memiliki tubuh ideal ini.
Satu alasannya, karena Rara mempunyai pandangan cethek bahwa kesempurnaan fisiknya dapat menyelesaikan seluruh
problematikanya. Itulah mengapa, dia cenderung menganggap remeh persoalan Lulu
yang dipikirnya tidak seberapa dibanding masalahnya karena sang adik mempunyai
wajah yang rupawan. Tapi benarkah orang-orang yang dinilai “sempurna” ini
terbebas dari persoalan berkenaan dengan insecure?
Bukankah mereka rentan untuk terjebak dalam pertemanan maupun hubungan
palsu karena
fisik seringkali dijadikan pertimbangan utama? Dalam film ini, Ernest
menegaskan bahwa setiap orang memiliki rasa insekyurnya sendiri-sendiri.
Termasuk mereka yang tampaknya telah sangat sempurna.
Pertanyaan-pertanyaan ini
merupakan satu contoh dari sejumlah renungan yang diajukan oleh Imperfect melalui sederet studi kasus
yang disodorkannya. Ernest menyelipkannya ditengah-tengah guliran pengisahan
yang berhasil dihantarkannya secara lancar dan penuh sensitivitas. Pengarahan beserta
penulisan naskah yang menjadi kekuatan utama Imperfect ini ditunjang oleh lakon apik dari jajaran pemain. Disamping
personil geng yang mencuri perhatian, film juga memiliki Jessica Mila (beneran menaikkan
bobotnya hingga 10 kg dan menghitamkan kulitnya lho!) yang menunjukkan performa
terbaik sepanjang karirnya dalam Imperfect.
Dia menjelma sebagai tokoh utama yang mudah dicintai pada paruh pertama,
lalu kemudian berangsur-angsur menjadi agak menyebalkan di paruh akhir saat
dirinya “tersesat” dan mempertanyakan tentang tujuannya untuk berubah. Apakah karena
semata-mata ingin dihormati, atau justru karena dia mencintai tubuhnya sendiri
sehingga merasa perlu untuk menjalani pola hidup sehat? Mendampinginya untuk
menggerakkan elemen dramatik dalam film adalah Reza Rahadian yang sekali lagi
menyodorkan akting mengesankan. Di tangannya, Dika tampil sebagai pribadi yang
simpatik. Dia tampak mencintai Rara, dia tak pernah menghakimi Rara, dan dia pun
senantiasa memberikan dukungan untuk Rara. Adegan yang memperlihatkan Dika
sedang bercanda tawa bersama ibunya, Ratih (Dewi Irawan), mengenai waxing menjadi satu momen emas bagi Reza
Rahadian di sini. Terlihat seperti pasangan ibu-anak betulan, euy! Yang juga
layak mendapatkan kredit tersendiri adalah Yasmin Napper yang bermain manis
sebagai Lulu serta Karina Suwandi sebagai seorang ibu yang disalahpahami. Adegan
pertengkaran yang melibatkan Rara, Lulu, dan Debby tak saja menunjukkan
kemahiran lakon dari ketiga pemain, tetapi juga mempersembahkan satu momen
mengesankan bagi Imperfect yang akan
membuat matamu berkaca-kaca dan seketika merindukan keluarga di rumah.
Karena pada momen ini juga, penonton diingatkan bahwa keluarga
semestinya menjadi pihak yang paling bisa diandalkan untuk membantu
mengenyahkan insekyur. Keluarga semestinya saling mendukung satu sama
lain, keluarga semestinya tidak menghakimi, keluarga semestinya tidak
menjatuhkan, dan keluarga semestinya memberikan rasa aman dalam diri.
Post a Comment