HABIBIE & AINUN 3
December 24, 2019
REVIEW : HABIBIE & AINUN 3
“Kita dalam buku yang sama, tapi halaman yang berbeda.”
Saat Habibie & Ainun (2012) dirilis di bioskop, impak yang
dihadirkannya tidaklah main-main. Disamping sanggup mengundang empat juta
pasang mata untuk berbondong-bondong memenuhi bioskop, karir dua pemain
utamanya yakni Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari pun seketika meroket. Nama
keduanya lantas tercatat sebagai “bintang film kelas A” berkat kesuksesan film
yang sering pula dielu-elukan sebagai salah satu tontonan percintaan terbaik di
tanah air ini. Sungguh luar biasa. Saking hebatnya dampak yang diberikan oleh Habibie & Ainun, MD Pictures selaku
rumah produksi pun memutuskan untuk meneruskan legacy-nya dengan menghadirkan dua film kelanjutan. Sebuah
keputusan yang tadinya sempat membuat beberapa pihak, termasuk saya,
bertanya-tanya, “apa lagi yang ingin
dicelotehkan? Bukankah segala sesuatunya telah tertuang di film pertama?.” Well, ternyata masih ada sejumlah fase
hidup dari dua karakter tituler yang belum sepenuhnya tersentuh. Dua sekuel yang
sejatinya lebih bersifat sebagai prekuel ini, menggali lebih dalam masa-masa
yang hanya dituturkan secara sekilas lalu di Habibie & Ainun. Yang pertama adalah Rudy Habibie (2016) dimana kisah masa muda Bacharuddin Jusuf
Habibie dihantarkan bak tontonan blockbuster
yang megah, dan yang kedua adalah Habibie
& Ainun 3 (2019, sebelumnya berjudul Ainun) yang narasinya mengetengahkan pada perjuangan Hasri Ainun
Besari semasa menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dalam Habibie & Ainun 3 yang kembali disutradarai oleh Hanung
Bramantyo usai dipercaya mengomandoi Rudy
Habibie, penonton tak sekonyong-konyong dilempar ke era 50-an. Kita terlebih
dahulu dipertemukan dengan Pak Habibie (Reza Rahadian) yang tengah berkumpul
bersama keluarga kecilnya di kediamannya. Sebelum menyantap hidangan untuk
makan malam, salah satu cucunya, Tiffanie (Anodya Shula), meminta sang eyang
kakung untuk menceritakan masa lalu dari almarhumah eyang putri. Dari sini,
film lantas menggunakan teknik kilas balik guna mempertemukan kita dengan Ainun
di usia belasan (Maudy Ayunda). Sedari SMA, Rudy – sapaan akrab Pak Habibie –
telah menaruh perhatian kepada Ainun yang tidak saja mempunyai tampang rupawan
tetapi juga otak yang cerdas dan keteguhan tekad. Ainun berambisi ingin menjadi
seorang dokter selepas menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia, padahal
dia paham betul bahwa pada masa itu bidang pekerjaan tersebut identik dengan
dunia laki-laki dan tergolong tidak ramah kepada perempuan. Pun demikian,
protagonis kita ini tak gentar dan kepribadiannya yang meliputi cerdas, tekun,
serta berani lantas membuatnya menjadi sosok yang diidolakan oleh para pria di
kampusnya. Dari sederet mahasiswa yang menyatakan rasa kepadanya, perhatian
Ainun tertambat pada mahasiswa dari Fakultas Hukum bernama Ahmad (Jefri Nichol)
yang dipandangnya memiliki semangat tinggi dan sanggup memberikan rasa nyaman.
Untuk sesaat, hubungan keduanya berkembang menjadi semakin dekat dan rekat.
Tapi kita semua tahu, mereka tidak ditakdirkan untuk mengarungi bahtera rumah
tangga bersama-sama.
Mesti diakui, Habibie & Ainun 3 digarap secara kompeten.
Jika ada satu hal yang membuat saya berdecak kagum di film ini, maka itu
keberhasilan tim tata rias dalam menyulap Reza Rahadian menjadi Pak Habibie di
masa tuanya menggunakan makeup prostetik yang konon membutuhkan waktu kerja
selama 7 jam. Tidak seperti film pertama dimana wajah Reza masih terlihat plek
ketiplek seperti Reza (hanya dibedakan oleh riasan uban semata!), disini dia
benar-benar bertransformasi menjadi Pak Habibie sampai-sampai tak sedikit
penonton yang tertipu dan meragu yang memunculkan tanya, “benarkah sosok dibalik wajah tersebut adalah Reza?,” lantaran
saking detilnya. Sungguh mengagumkan. Yang juga layak diapresiasi dari sektor
teknis adalah kinerja tim efek khusus dalam memudakan Reza. Meski hasil
akhirnya tak sama gilang gemilangnya dengan tata rias serta ada kalanya tampak menggelikan
di beberapa titik, penggunaan teknik de-aging
ini masih tergolong apik mengingat fakta bahwa hanya tersedia sedikit waktu dan
biaya untuk mewujudkannya. Belum lagi ini pertama kalinya diaplikasikan di perfilman
Indonesia. Jadi, tetap perlu dirayakan to? Disamping elemen teknis yang berada
dalam kelas premium, faktor lain yang menunjang Habibie & Ainun 3 adalah performa sangat baik dari jajaran
pemain. Reza Rahadian sekali lagi mencuri perhatian sebagai Habibie dengan
gestur dan gaya berbicara yang menyerupai sekalipun perannya kali ini agak
direduksi mengingat fokus penceritaan beralih ke Ainun.
Menyandang tanggung jawab besar
sebagai sentral cerita, Maudy Ayunda nyatanya sanggup mempertontonkan lakon
terbaiknya di sepanjang karir. Dia menjelma menjadi Ainun yang anggun, cerdas,
serta mempunyai jiwa sosial tinggi secara effortless
sehingga penonton pun dapat diyakinkan tentang status idola yang disandang oleh
Ainun – yes, she’s so charming. Maudy
yang tampak sangat meneduhkan ini menjalin chemistry
padu bersama Jefri Nichol yang kembali membuktikan bahwa dia merupakan salah
satu aktor muda berbakat di Indonesia. Memang betul perannya masih senada
seirama dengan peran-peran dia sebelumnya; cowok bengal yang cool, jago berantem, serta lihai merayu
perempuan, tapi di tangannya, Ahmad menjadi karakter yang simpatik. Kita
mendukungnya, kita pun iba kepadanya. Ketika akhirnya Ahmad gagal mendapatkan
Ainun karena satu dua alasan, saya pun berharap agar suatu saat nanti Jefri
akan kembali dipertemukan bersama Maudy sebagai satu pasangan dibawah
pengarahan Hanung untuk sebuah film komedi romantis. Ya, mereka terlihat sangat
cocok kala berpasangan. Tidak hanya mereka berdua dan juga Reza, Habibie & Ainun 3 juga
mempersembahkan lakon apik dari Arswendi Bening Swara sebagai Pak Husodo, dosen
Ainun, yang terkenal keras dalam mengajar tapi mempunyai kebaikan dan
kehangatan hati kala film mengajak kita untuk mengenalnya secara pribadi. Tak
ayal, kesan bijaksana nan berwibawa pun senantiasa menguar kuat setiap kali sosoknya
muncul di layar guna memberikan wejangan-wejangan berharga bagi Ainun.
Sayangnya, di saat elemen teknis
dan departemen akting mampu bekerja secara semestinya (bahkan tergolong
impresif!), tidak demikian halnya dengan jalinan penceritaan dalam Habibie & Ainun 3 yang cenderung
bermasalah. Isu women empowerment yang
dikedepankannya berakhir banal serta pretensius karena obrolan ini tidak pernah
betul-betul menunjukkan relevansinya terhadap pergerakan cerita maupun masa
depan Ainun sendiri. Disini, laki-laki masih dianggap sebagai “penyelamat” dan satu
dialog menjelang pertarungan jujitsu malah cenderung memandang rendah laki-laki
yang dianggap hanya bisa menyelesaikan masalah lewat adu jotos. Saya paham
tujuannya baik, tapi mengapa harus dipaksakan memperbincangkan soal kesetaraan
gender jika narasinya sendiri tidak pernah benar-benar menguatkan itu? Obrolan
soal posisi perempuan di dunia kedokteran hanya disampaikan sepintas lalu
melalui sesi perkenalan dengan Pak Husodo serta satu villain yang halunya kebablasan, Agus (Arya Saloka), tanpa pernah
dikembangkan menjadi satu konflik tersendiri bagi si protagonis. Ainun mulus-mulus
saja menjalani studi di Universitas Indonesia yang menghantarkannya sebagai
lulusan terbaik, sementara perjalanan karirnya sebagai dokter pun tak pernah
diulas.
Menginjak pertengahan durasi, film seolah melupakan tentang cita-cita Ainun untuk berbakti pada tanah air berikut pesan yang dihantarkannya demi memberi ruang bagi tumbuh berkembangnya elemen percintaan. Untung saja, dua pemain utama menunjukkan ikatan kimia yang meyakinkan dan teknisnya seperti sinematografi, penyuntingan, tata suara (Dolby Atmos euy!) serta tata musik pun mumpuni. Jika tidak, bukan saja saya akan dirundung jenuh lantaran narasinya nyaris tidak mempunyai letupan emosi maupun rasa, saya mungkin juga akan bertanya-tanya mengenai poin yang ingin disampaikan oleh Habibie & Ainun 3 karena sejujurnya pembicaraan mengenai mengejar mimpi, diskriminasi gender, hingga nasionalisme bagaikan pemanis belaka di sini alih-alih dijabarkan secara menyeluruh.
Menginjak pertengahan durasi, film seolah melupakan tentang cita-cita Ainun untuk berbakti pada tanah air berikut pesan yang dihantarkannya demi memberi ruang bagi tumbuh berkembangnya elemen percintaan. Untung saja, dua pemain utama menunjukkan ikatan kimia yang meyakinkan dan teknisnya seperti sinematografi, penyuntingan, tata suara (Dolby Atmos euy!) serta tata musik pun mumpuni. Jika tidak, bukan saja saya akan dirundung jenuh lantaran narasinya nyaris tidak mempunyai letupan emosi maupun rasa, saya mungkin juga akan bertanya-tanya mengenai poin yang ingin disampaikan oleh Habibie & Ainun 3 karena sejujurnya pembicaraan mengenai mengejar mimpi, diskriminasi gender, hingga nasionalisme bagaikan pemanis belaka di sini alih-alih dijabarkan secara menyeluruh.
Post a Comment