Header Ads


http://816aman.com/

SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)

December 27, 2019

REVIEW : SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)

 

“Kenapa perempuan harus menjadi hantu terlebih dahulu baru ditakuti?”

Bagi generasi masa kini, Si Manis Jembatan Ancol mungkin terdengar asing di telinga. Tapi bagi generasi yang lebih tuwek, nama ini identik dengan tiga hal. Pertama, legenda urban asal Betawi. Kedua, judul film layar lebar keluaran tahun 1973 yang dibintangi oleh Lenny Marlina. Dan ketiga, sinetron bergenre horor komedi di era 90-an yang membawa dua pemain intinya, Diah Permatasari dan Ozy Syahputra, merengkuh popularitas. Saking populernya (bahkan Presiden Soeharto pun menggilainya!), versi layar lebarnya pun digarap yang menandai untuk kedua kalinya meneror penonton di bioskop. Mantap kan, adek-adek? Nah setelah dibiarkan “beristirahat dengan tenang” di alamnya selama kurang lebih dua dekade, sesosok memedi bernama Maryam yang kerap terlihat bergentanyangan di Jembatan Ancol ini coba dibangkitkan kembali oleh Anggy Umbara (Suzzanna Bernapas dalam Kubur, Satu Suro) guna diperkenalkan kepada generasi Z, sekaligus mengikuti tren remake film horor klasik tanah air yang akhir-akhir ini tengah merebak. Masih mengandalkan judul Si Manis Jembatan Ancol, jajaran pemain yang dilibatkan tentu mengalami perombakan signifikan sebagai bentuk penyesuaian. Satu-satunya pelakon yang kembali direkrut dalam versi termutakhir adalah Ozy Syahputra yang sekali ini tidak melakonkan hantu gundul nan kenes bernama Karina, melainkan menjadi salah satu villain yang bertanggungjawab atas lahirnya arwah penasaran yang dilingkupi dendam kesumat berjulukan Si Manis.

Selaiknya versi-versi terdahulu, karakter utama dalam Si Manis Jembatan Ancol versi Anggy ini pun seorang perempuan bernama Maryam (Indah Permatasari). Tinggal di rumah gedongan bersama sang suami, Roy (Arifin Putra), nyatanya tak menjamin Maryam dapat hidup berbahagia lantaran Roy tengah terlilit hutang dalam jumlah yang sangat besar dan hubungan mereka pun tak lagi hangat. Roy kerap bersikap acuh tak acuh, bahkan cenderung kasar, kepada istrinya yang dianggapnya tak pernah berkontribusi terhadap keuangan rumah tangga mereka. Ditengah kesedihan dan kesendiriannya ini, Maryam berjumpa dengan seorang pelukis, Yudha (Randy Pangalila), yang memberinya tawaran menggiurkan. Yudha akan memberi hadiah lukisan yang menampilkan Maryam bersama almarhum ayahnya secara cuma-cuma, asalkan Maryam bersedia untuk menjadi model bagi lukisan-lukisannya. Meski mulanya bimbang, toh pada akhirnya protagonis kita ini mengambil tawaran tersebut. Maryam dan Yudha pun menghabiskan waktu bersama selama berhari-hari lamanya yang secara perlahan tapi pasti membuat hubungan keduanya kian erat. Menyadari bahwa sang istri telah berpaling ke pria lain, Roy yang tengah kalut akibat ancaman lintah darat, Oji (Ozy Syahputra), pun memutuskan untuk mengorbankan nyawa istrinya demi membayar hutang-hutangnya yang menumpuk. Sebuah keputusan yang nantinya disesali oleh Roy karena arwah Maryam memilih untuk tidak tinggal diam sebelum para pria yang menghabisinya mendapat balasan setimpal.


Satu hal yang bisa saya peringatkan padamu, Si Manis Jembatan Ancol adalah tontonan horor yang tergolong berbeda dari film-film bergenre sama di tanah air. Berbeda dalam artian baik atau buruk, tergantung penerimaanmu. Yang jelas, Anggy memang mengambil resiko sangat tinggi di sini yang berdampak pada terpecah belahnya pendapat. Kamu bisa saja menyukai pilihan si pembuat film, atau kamu justru akan sangat membencinya. Tengok saja bagaimana caranya menjabarkan karakteristik Maryam berikut keadaannya yang nelangsa dan hubungannya dengan karakter-karakter lain dalam film. Seperti pernah diaplikasikan melalui Suzzanna Bernapas dalam Kubur (2018), dia memanfaatkannya dalam satu jam pertama yang bergerak  di ranah drama. Tak ada trik kaget-kagetan karena si memedi belum tercipta, dan hanya ada obrolan demi obrolan yang sesekali diselingi candaan menggelitik dari trio warung kopi guna menjelaskan segenap persoalan yang melanda para karakter inti. Bagi penonton yang mendamba riuhnya jumpscares, pendekatan sang sutradara ini boleh jadi mengecewakan. Bahkan saya memafhumi jika kemudian ada yang merasa jenuh lantaran ada kalanya narasi terasa berpanjang-panjang dan bisa saja lebih dipadatkan. Tapi berhubung saya ingin mengetahui lebih dalam mengenai Maryam dan kawan-kawan (biasanya, karakter dalam film horor sekadar ada untuk diteror atau meneror tanpa latar belakang memadai), apa yang dilakukan oleh Anggy ini terbilang menggugah selera. Dari menit-menit ini, saya dipersilahkan untuk melongok motivasi dari Maryam, Yudha, Roy, maupun Oji yang nantinya berguna untuk memahami apa yang terjadi pada mereka di babak pembalasan.

Disamping penceritaan dari Anggy yang mengalir, faktor lain yang menambat atensi saya di Si Manis Jembatan Ancol adalah elemen teknisnya mencakup artistik, sinematografi, busana, sampai tata rias yang sanggup menebalkan kesan 70-an yang merupakan latar waktu dari film. Meski wig yang dikenakan oleh Randy Pangalila terasa mengganggu sampai-sampai ingin rasanya saya gunduli (mohon maaf!), tapi tidak demikian halnya dengan performa jajaran pemainnya yang tergolong mengesankan. Indah Permatasari membuat kita bersimpati kepada karakter Maryam yang sepintas tampak lemah tak berdaya akibat tekanan sang suami tapi ternyata tangguh secara fisik dan pemikiran, Arifin Putra terlihat sungguh menjengkelkan sebagai kepala rumah tangga yang egois, Randy Pangalila merepresentasikan laki-laki idaman yang simpatik, dan Ozy Syahputra sanggup menanggalkan citra Karina yang selama ini melekat erat pada dirinya. Disamping olah akting yang mumpuni, Si Manis Jembatan Ancol juga handal dalam mengkreasi momen-momen seram. Bukan sebatas trik kejut tanpa esensi, Anggy memberi alasan bisa dipahami terkait adegan mimpi yang merupakan salah satu highlight dalam film. Saya menyukai ketika Si Manis melayang ditopang kerudung merahnya di tengah-tengah Jembatan Ancol karena bagi saya, adegan ini sanggup tersaji creepy dan cantik di waktu bersamaan. Satu bentuk perasaan takut yang sayangnya urung mencuat kala Si Manis melangsungkan misi balas dendamnya. Pemicunya adalah ketiadaan modus operandi yang jelas sehingga adegan bunuh-bunuhan yang berdarah-darah ini terasa kelewat acak tanpa ada pola. Membuat saya bertanya-tanya, apa saja sih sebetulnya kemampuan yang dipunyai oleh Si Manis ini?


Dari teror demi teror yang tingkatannya beragam – walau acapkali bekerja secara semestinya – penonton lantas digiring menuju satu pengungkapan besar yang tidak akan saya sebutkan di sini. Pengungkapan ini akan menjadi satu alasan lain mengapa penerimaan Si Manis Jembatan Ancol terbagi secara ekstrim ke dalam dua gelombang. Saya pribadi tidak keberatan, bahkan mengapresiasi keberanian Anggy sekalipun eksekusinya tidak benar-benar sempurna dan masih meninggalkan ganjalan di hati terkait cara kerjanya. Lagipula, bukankah sudah saatnya film horor Indonesia mengambil langkah nekat ketimbang sebatas membicarakan soal perjanjian dengan setan yang belakangan marak? Apalagi, ada pembicaraan bagus di sini yang juga jarang-jarang diajukan oleh film seram dari dalam negeri. Sebuah topik obrolan cukup menggugah mengenai women empowerment yang telah didengung-dengungkan sedari babak introduksi. Selain dialog yang telah saya kutip di atas, ada satu lagi dialog berkesan yang menjadi satu pesan berharga dari Maryam untuk para perempuan di muka bumi: “Jadi perempuan itu harus kuat. Dunia terlalu jahat untuk perempuan.” Sebuah pesan yang membuat saya yakin bahwa Maryam semestinya diangkat menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan agar berhenti gentayangan. #eh

Note : Ada satu adegan tambahan selang beberapa detik usai end credit mulai merayap.

No comments