Header Ads


http://816aman.com/

THE GRUDGE (2020)

January 3, 2020

REVIEW : THE GRUDGE (2020)


“I went to the house. I think something followed me home.”

“Astaghfirullah” adalah reaksi pertama yang saya lontarkan selepas menyaksikan interpretasi baru dari The Grudge pada malam tahun baru kemarin. Sebuah reaksi yang umumnya muncul seusai hamba menonton sebuah film yang membuat stok kesabaran menipis. Bayangkan, ketimbang bersuka cita bersama kawan-kawan dekat, menyantap makanan lezat, atau melihat para musisi mempertontonkan kecintaannya pada musik di atas panggung, saya justru menghabiskan 90 menit untuk duduk di dalam bioskop guna menyimak sebuah tontonan yang sama sekali tidak mempunyai suka cita di dalamnya. Yang ada hanyalah penderitaan, penderitaan, dan kebosanan. Hingga pada satu titik, saya meyakini bahwa penderitaan yang dialami oleh para karakter dalam film ini tak sebanding dibanding penderitaan yang harus dilewati penonton yang telah memutuskan untuk memilih The Grudge sebagai film penutup di tahun 2019 (atau film pembuka 2020). Entah apa yang telah merasuki saya sampai-sampai nekat menebus satu tiket tontonan memedi ini sekalipun masih dibuat trauma oleh Rings (2017) yang tak kalah amsyongnya. Usai mengolesi kepala menggunakan satu botol minyak angin beraroma terapi lalu melahap sepiring steak sebagai comfort food, saya pun bisa kembali berpikir jernih untuk berkata ternyata ada dua alasan utama yang melatarinya: 1) kecintaan pada franchise Ju-On (atau The Grudge untuk remake) yang mempunyai satu karakter demit sensasional bernama Kayako, dan 2) jejak rekam sang sutradara, Nicolas Pesce (The Eyes of My Mother), yang cukup meyakinkan. Ditambah lagi adanya fakta bahwa Sam Raimi turut bertindak sebagai produser, saya tentu optimis The Grudge versi anyar ini akan lebih mendingan ketimbang dua jilid pendahulunya yang ternyata oh ternyata terbukti salah kaprah. Duh, duh, duh…

Sebelum saya lanjutkan kembali sesi mengeluh dan curhat colongan, izinkan diri ini untuk mewartakan jalan cerita dari The Grudge. Membawa penonton kembali ke satu dekade silam, film memperkenalkan kita dengan Detektif Muldoon (Andrea Riseborough) yang baru saja pindah ke sebuah kota kecil bersama putra semata wayangnya guna menyembuhkan kepedihan hati akibat meninggalnya sang suami. Tak berselang lama semenjak dirinya kembali aktif bekerja, Muldoon bersama rekan kerjanya, Detektif Goodman (Demian Bichir), ditugaskan untuk menyelidiki satu penemuan mayat. Konon, mayat yang diidentifikasi sebagai Lorna Moody (Jacki Weaver) itu ditemukan telah membusuk di dalam mobilnya yang merangsek ke dalam hutan. Untuk satu dan lain alasan, Goodman menolak mencari tahu lebih jauh mengenai penyebab kematian Lorna. Namun Muldoon yang notabene masih baru di kota justru merasa penasaran. Terlebih, dia mengetahui bahwa kasus ini memiliki keterkaitan dengan kasus yang pernah ditangani oleh Goodman dua tahun lalu. Sebuah kasus yang menyebabkan seluruh personil Keluarga Landers meregang nyawa. Tanpa sedikitpun menaruh kecurigaan mengenai bahaya yang mungkin mengintai, Muldoon pun memutuskan untuk menyelidiki kasus ini seorang diri. Terbantu oleh setumpuk berkas dimana dia mendapatkan informasi mengenai keterlibatan agen properti, Peter Spencer (John Cho), Muldoon lantas mengunjungi kediaman Landers di Reyburn Drive no 44 yang kini ditempati oleh Faith Matheson (Lin Shaye) bersama suaminya. Sekilas, terlihat tidak ada yang salah dengan rumah tersebut sampai kemudian protagonis kita ini menemukan satu kejanggalan yang mengaitkan Lorna dengan Faith, Peter, bahkan Keluarga Landers.


Kala mengetahui The Grudge bakal dirilis di bulan Januari yang identik dengan film-film buangan dari studio besar, saya sebetulnya sudah curiga. Tapi saya tidak pernah sedikitpun menyangka film ini bakal sangat mem-bo-san-kan. Hal paling mengerikan di sini bukanlah trik menakut-nakuti dari para memedinya, melainkan kenyataan bahwa saya telah menghabiskan waktu dan uang untuk menyaksikan sebuah film horor yang tak ubahnya dongeng pengantar tidur. Bersyukurlah Sony Pictures cukup sadar diri dengan melepasnya dalam durasi sepanjang 90 menit saja karena jika lebih panjang sekitar 15-20 menit, saya meyakini bakal ada sejumlah penonton yang membentuk klub “paduan suara mendengkur” di dalam bioskop. Ya, The Grudge memang semembosankan itu. Padahal, menit pembukanya tampak menjanjikan. Ketika Fiona Landers (Tara Westwood) baru saja meninggalkan rumah kutukan, lalu didera satu dua keanehan yang diorkestrai oleh Kayako dan pada akhirnya menyebarkan kutukan itu kepada keluarganya. Namun seusai pembuka yang memantik hasrat ingin tahu, film secara perlahan tapi pasti mulai kehilangan energinya. Dari seabrek karakter yang diajukan oleh Nicolas Pesce, tak satupun diantaranya yang sanggup menarik empati penonton karena tanpa dibarengi pengembangan karakter memadai. Mereka semua selalu terlihat begitu menderita, mereka semua tampak sangat kelelahan, dan mereka semua terlihat tidak memiliki gairah hidup. Sungguh depresif. Ditambah atmosfer pengisahan yang senantiasa suram mengikuti upaya film untuk tampil creepy plus laju penceritaan yang tak lebih cepat dari siput berjalan, The Grudge terasa sulit diikuti. Dan saya masih belum menyebut pilihan film untuk memberikan penghormatan kepada jilid terdahulu dengan menghadirkan plot bercabang yang tersusun atas tiga linimasa berbeda yakni 2004, 2005, dan 2006.  

Plot bercabang ini menuntut penonton untuk meletakkan fokusnya ke layar karena ada banyak karakter berikut informasi yang mesti disusun oleh penonton. Apabila materinya memadai, tak sulit berkonsentrasi. Tapi saat ketiga linimasa ini dibentuk oleh persoalan (dan hasil akhir) yang bisa dibilang senada seirama, kenapa mesti repot-repot menggunakan teknik bercerita maju mundur (tidak) cantik? Demi menebalkan sisi misterius dari konflik utama? Atau semata-mata ingin menciptakan citra kompleks nan cerdas kepada penonton? Karena sejujurnya, The Grudge yang diperkenalkan sebagai reboot dari sebuah remake (halah!) ini tidak membutuhkan penyampaian yang dinjelimet-njelimetkan. Terlebih, penonton yang telah khatam tontonan horor – plus seri Ju-On dari Jepang atau Amerika – sudah bisa menerka dengan mudah apa yang tersembunyi dibalik misteri yang sama sekali tidak misterius ini. Yang disayangkan, keputusan untuk mendramatisir segenap persoalan sampai sedemikian rupa turut berimbas pada terlupakannya pembahasan perihal mitologi dibalik kutukan dendam membara. Selain satu baris kalimat di permulaan, adegan pembuka, serta sekelumit eksposisi di pertengahan durasi yang sangat mungkin kamu lewatkan jika berkedip, kita tidak benar-benar dibuat memahami apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa judul ini semestinya berada dalam rangkaian seri The Grudge. Sang antagonis utama dalam franchise ini, Kayako, hanya diposisikan sebagai cameo lantaran lebih memilih untuk berjalan-jalan keliling Amerika (mumpung dapet tumpangan gratis, ya kan?) dan menyerahkan tanggungan untuk menakut-nakuti karakter beserta penonton kepada anak didiknya yang masih berstatus sebagai trainee minim pengalaman. Saya bilang minim pengalaman, karena mereka sama sekali tidak berhasil membuat saya meringkuk tampan di kursi bioskop. Malah, mereka tergolong baik hati karena bersedia membantu salah satu karakter untuk keramas maupun cuci muka. Sungguh mulia, bukan?


Hantu-hantu dengan tata rias seperti baru nyungsep di kubangan lumpur ini tak ubahnya hantu-hantu dari film horor lokal produksi Dee Company yang saking tak pedenya dengan kemampuan menakut-nakuti yang dipunyai, mereka lantas meminta bantuan kepada departemen musik untuk memasang bunyi-bunyian pengejut jantung di level maksimal. Mereka acapkali menampakkan diri secara serampangan tanpa ada konteks berarti, lalu musik pun dimainkan agar kita terperanjat. Kaget? Sesekali, ya. Takut? Tidak sama sekali. Jengkel? Pastinyaaaaa. Dua momen yang menurut saya terbilang mendingan level mencekamnya adalah adegan pembuka yang melibatkan Kayako, dan adegan ruang berkas kala Detektif Muldoon menelusuri fail Keluarga Landers. Selebihnya adalah teknik ci-luk-ba generik yang perlahan tapi pasti membuat diri ini sebal bukan kepalang lantaran kelewat sering, kelewat mirip satu sama lain, dan kelewat usang. Ya, trik menakut-nakutinya bukan saja tidak efektif, tetapi juga sudah teramat sangat sering sekali ditemui di film-film horor lain. Penampilan apik nan eksentrik dari Lin Shaye (well, satu-satunya performa pemain yang membekas) pun tak cukup untuk meredakan kejenuhan sekaligus kemarahan saya akibat porsi tampilnya yang terhitung amat singkat. Pada akhirnya, jika ada kemarahan besar yang bisa dirasakan dari The Grudge, maka itu adalah amarah dalam diri saya dan bukannya amarah dari para memedi yang terlihat sangat tidak bersemangat seperti karakter-karakter manusianya. Benar-benar film yang bikin istighfar.

No comments