Header Ads


http://816aman.com/

NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI

January 7, 2020

REVIEW : NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI

“Gimana caranya bahagia, kalau sedih aja nggak tahu rasanya kayak apa?”

(Ada sekelumit bahasan mengenai menit-menit puncak di paragraf akhir. Bagi beberapa orang mungkin dianggap spoiler, meski saya tidak menjabarkan secara spesifik.)

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini adalah sebuah fenomena di khasanah perbukuan tanah air. Betapa tidak, saat pertama kali diterbitkan pada bulan Oktober 2018 silam, buku rekaan Marchella FP tersebut mampu terjual lebih dari 5 ribu eksemplar hanya dalam kurun waktu sehari. Itupun sebatas mencakup Pulau Jawa dan belum pula ditambahkan dengan penjualan melalui pre-order yang tak kalah dahsyatnya. Hingga ulasan ini diturunkan, buku berisi kutipan kalimat-kalimat perenungan hidup ini sudah mencapai cetakan ke-12 dan masih banyak diburu oleh khalayak ramai. Mengagumkan, bukan? Menilik respon yang sedemikian antusias dari masyarakat, tentu tak mengherankan jika kemudian Visinema Pictures meminang Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini untuk diekranisasi ke layar lebar. Seperti halnya Imperfect (2018) maupun Aku, Kau, dan KUA (2014) yang juga disadur dari buku non-fiksi tanpa ada narasi di dalamnya, Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara beserta Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief yang membantu Angga dalam memoles skenario pun sejatinya mengkreasi satu jalinan pengisahan baru. Yang menjadi landasan mereka ada dua: 1) karakter bernama Awan yang dalam materi sumber merupakan “tokoh kunci” yang dikisahkan mengirim surat berisi wejangan-wejangan untuk anaknya di masa depan, dan 2) jalinan pengisahannya adalah elaborasi dari kalimat-kalimat bernada kontemplatif di bukunya yang secara garis besar memperbincangkan tentang keluarga, kebahagiaan dan kehidupan. Sebuah materi yang mesti diakui menggugah selera lantaran terasa begitu membumi, begitu dekat, dan begitu personal bagi banyak orang.

Dalam versi layar lebar Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, karakter yang ditempatkan di posisi sentral masihlah Awan (Rachel Amanda) yang diceritakan sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Dia mempunyai dua kakak, Angkasa (Rio Dewanto) dan Aurora (Sheila Dara), yang menunjukkan sikap bertolak belakang kepadanya. Angkasa tak ubahnya malaikat pelindung bagi Awan yang sigap dalam mengulurkan bantuan untuk adiknya, sementara Aurora justru menciptakan jarak dengan Awan lantaran ada perasaan cemburu yang terpendam. Pemicunya berasal dari kedua orang tuanya, Narendra (Donny Damara) dan Ajeng (Susan Bachtiar), yang kelewat memanjakan Awan sampai abai dengan keberadaan Aurora. Si bungsu tidak boleh kesusahan, tidak boleh bersedu sedan, dan semestinya selalu dilindungi. Oleh karena itu, Narendra memberlakukan batasan-batasan mengenai apa yang boleh dilakukan oleh Awan dan dia pun menugaskan Angkasa untuk senantiasa menjaga sang adik termasuk menyediakan fasilitas antar jemput ke kantor. Sikap overprotektif Narendra ini secara perlahan tapi pasti membentuk Awan sebagai pribadi yang pembangkang. Dia enggan lagi menuruti perkataan sang ayah, utamanya setelah berkenalan dengan manager dari band kesukaannya, Kale (Ardhito Pramono), yang memberinya perspektif menarik mengenai menjalani hidup. Merasa bahwa putri bungsunya tidak lagi bisa diatur, Narendra jelas naik pitam yang lantas memantik percikan-percikan konflik dengan ketiga anaknya. Dari pertikaian hebat antara empat manusia ini, sebuah rahasia memilukan yang selama ini berusaha untuk dipendam pun mengemuka yang memaksa setiap personil keluarga untuk berdamai dengan duka dan luka. 


Sebagai bungsu dari tiga bersaudara dengan dua kakak perempuan, saya tentu bisa terkoneksi ke sebagian persoalan yang menghiasi durasi Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Soal ayah yang mempergunakan kekuasannya di lingkup rumah tangga untuk mengontrol anak-anaknya, soal anak bungsu yang kehilangan arah tujuan dalam hidup lantaran tidak pernah diberi kekebasan untuk menentukan pilihannya sendiri sedari cilik, dan soal relasi kurang hangat dengan anak tengah yang kerap kali dilingkupi amarah akibat ketimpangan dalam pemberian afeksi dari orang tua. Selama paruh awal, saya yang mengalami segenap konflik tersebut seolah dibuat bercermin sehingga tak sulit bagi diri ini untuk tertambat ke guliran pengisahan yang dilantunkan secara perlahan dengan mode kontemplatif oleh Angga Dwimas Sasongko (Hari Untuk Amanda, Cahaya Dari Timur Beta Maluku). Sebuah bentuk pendekatan yang sejalan dengan materi sumbernya yang memang mengajak para pembacanya untuk merenungi, mempertanyakan, lalu mendefinisikan kehidupan. Upayanya untuk patuh pada versi buku memang memunculkan konsekuensi berupa kejanggalan dialog yang acapkali terdengar kelewat filosofis. Tapi sebagai seseorang yang pernah (dan mungkin masih?) berada di posisi Awan, saya pribadi tidak terlalu keberatan karena film menghadirkan pembicaraan menarik melalui tukar dialog maupun pertikaian antar karakter. Disamping membentuk pertanyaan utama berbunyi “apakah kita semestinya meredam duka demi menciptakan kebahagiaan?”, ada pula bahan renungan untuk setiap individu mengenai keberanian dalam menentukan pilihan, bahan obrolan mengenai kerapuhan maskulinitas beserta bahan diskusi setiap keluarga mengenai “keinginan dan kebutuhan”. Sebuah diskusi yang jelas dibutuhkan oleh seluruh keluarga demi tercapainya hubungan yang harmonis.

Berat? Begitulah adanya. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini mencoba untuk menangkap keresehan-keresahan generasi muda masa kini yang boleh jadi acapkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekelilingnya. Keresahan itu diimplementasikan ke dalam persoalan yang merongong Angkasa dimana dia dibebani tanggung jawab besar oleh orang tuanya tanpa pernah memiliki waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, lalu Aurora yang seolah dianggap tidak pernah ada sekalipun kerap menorehkan prestasi, dan Awan yang berkeinginan untuk diberi kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Tatkala si pembuat film meletakkan fokusnya pada pergolakan batin tiga individu yang disebabkan oleh “pembungkaman” dari sang ayah, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini terhidang begitu menggigit. Apalagi, film disokong barisan pemain ansambel yang sodorkan akting memuaskan seperti Rachel Amanda yang cenderung meletup-letup dalam menunjukkan emosinya sampai pada titik Awan tidak menyadari ada yang salah dengan tindakannya, Rio Dewanto yang memperlihatkan kewibawaan seorang kakak yang menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya, dan Sheila Dara yang tak dibekali banyak dialog tapi sanggup memancarkan kegundahan hati seorang Aurora melalui sorot mata. Disamping tiga nama utama ini, masih ada pula Donny Damara beserta Susan Bachtiar yang merepresentasikan masa kini, dan pelakon-pelakon yang didapuk untuk melakonkan karakter-karakter krusial di masa lampau dimana kredit khusus patut disematkan kepada Oka Antara, Niken Anjani, maupun aktris cilik Nayla Denny Purnama yang meyakinkan penonton bahwa Aurora telah “kehilangan” keluarganya sedari kecil.


Mengobrak-abrik emosi dan ada kalanya terasa hangat di paruh awal, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini sayangnya menjumpai kendalanya pada puluhan menit terakhir yang ditandai oleh adanya kelokan cerita alias twist. Selain babak pengungkapannya yang agak terlalu dini, misteri yang semestinya kejut nyata ini nyatanya terasa kurang meyakinkan. Peristiwanya memang betul traumatis, tapi mengapa harus disembunyikan selama puluhan tahun? Apakah ini satu cara bagi si pembuat film untuk berkomunikasi dengan penonton mengenai bahaya dari meredam duka? Bisa jadi demikian, meski tak seketika bisa membuat saya dapat menerimanya seperti ketidaksanggupan diri ini untuk menerima keberadaan lagu-lagu pengiringnya yang lebih sering mengganggu ketimbang menguatkan emosi dari setiap adegan. Lebih-lebih, twist tersebut justru membuat karakter Ajeng tampak egois lantaran dia seperti abai dengan keberadaan putra-putrinya. Demi babak ini, sosoknya sering diperlihatkan “terpisah” dari karakter lain yang seketika membuat diri ini bertanya-tanya: apakah dia betul-betul ada untuk buah hatinya? Betulkah dia mencintai mereka? Padahal, saya sempat mengira Ajeng akan menjadi teman berkeluh kesah bagi Aurora yang senantiasa sendirian baik di rumah atau di lingkungan kerja. Tapi ternyata dua karakter dengan potensi konflik paling greget ini justru agak terpinggirkan dalam perjalanan narasi yang ironisnya menyerupai persoalan yang mendera Aurora. Sayang banget nggak sih? Andai saja mereka diberi kesempatan untuk lebih dilibatkan ke dalam penceritaan, diberi kesempatan untuk berbuat, dan diberi kesempatan untuk menunjukkan transisi perubahan di ujung cerita (alih-alih secara mendadak!), bukan tidak mungkin Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini akan lebih menguras emosi. Bahkan dengan kekurangannya ini saja, saya masih sempat dibuat menitikkan air mata.

No comments