ZOOTOPIA
February 20, 2016
REVIEW : ZOOTOPIA
“Life’s a little bit messy. We all make mistakes. No matter what type of animal you are, change starts with you.”
Setelah berturut-turut menghidangkan produk berkualitas premium semenjak Tangled,
sulit untuk tidak menaruh kepenasaran tinggi terhadap langkah
berikutnya dari Walt Disney Animation Studio. Dengan Pixar kembali
menggeliat tahun lalu, maka tentu semakin menarik untuk mengetahui
bagaimana studio bermaskot Mickey Mouse ini mengantisipasi ‘serangan’
dari ‘saingan’. Begitu mendengar kabar produksi ke-55 mereka adalah
sebuah fabel – salah satu kesukaan Disney selain dongeng putri-putrian –
ada dua reaksi muncul: bersemangat karena lagi-lagi kembali ke ‘rumah’
seperti halnya Frozen, dan ragu-ragu karena, well, apa
lagi sih yang bisa dieksplorasi dari cerita mengenai sekumpulan
hewan-hewan berbicara? Tapi nyatanya, kamu tidak bisa meremehkan karena
keajaiban Disney masih tersedia dalam film bertajuk Zootopia ini yang trailer versi kukangnya seketika melambungkan harapan. Memang sih tingkat kesenangan Zootopia tidaklah setinggi rilisan Disney akhir-akhir ini (setidaknya bagi penonton cilik), namun berbicara soal penceritaan, whoaaa... kamu mungkin akan sedikit terkejut mendapati keberanian Disney disini.
Tokoh utama dari Zootopia
adalah seekor kelinci idealis sekaligus ambisius bernama Judy Hopps
(Ginnifer Goodwin) yang mimpinya sedari belia yakni mengabdikan diri ke
masyarakat sebagai polisi. Dengan tekad kuat, Judy berpindah ke Zootopia
– sebuah megapolitan dengan tatanan kota menyerupai perpaduan antara Tomorrowland
dan Dubai – dengan harapan dapat merealisasikan mimpinya tersebut.
Mengingat lapangan pekerjaan ini sangatlah asing bagi kelinci melihat
fakta bahwa Judy adalah kelinci pertama yang diterima di Zootopia Police
Department, tentu hari-hari pertama Judy bekerja jauh dari pengharapan.
Alih-alih menugaskan Judy untuk mencari sejumlah penduduk Zootopia yang
menghilang, Chief Bogo (Idris Elba) justru menempatkan Judy di bagian
pelanggaran parkir yang kemudian mempertemukannya dengan seekor rubah
licik, Nick Wilde (Jason Bateman). Meski hubungan keduanya dimulai dari
ketidaksukaan satu sama lain, Judy dan Nick pada akhirnya terpaksa
bekerja sama dalam satu tim saat mereka terseret ke sebuah konspirasi
misterius yang ternyata memiliki keterkaitan dengan kasus lenyap tanpa
jejaknya sejumlah penduduk Zootopia.
See? Saat menduga tidak ada lagi bahan kupasan untuk film animasi berbasis fabel, Zootopia
memberi kita kejutan yang bisa jadi juga tidak disangka-sangka oleh
para penanti film animasi terbaru keluaran Disney. Bukan sekadar kisah
petualangan bersama sahabat biasa mengarungi antah berantah, atau area
sama sekali asing, namun duo sutradara, Byron Howard dan Rich Moore,
turut memasukkan banyak elemen buddy cop maupun neo-noir yang sejauh ingatan ini bisa dilayangkan belum pernah disentuh oleh film animasi berpangsa pasar keluarga. Ya, melalui Zootopia,
kita diajak merasakan asyiknya bermain-main sebagai detektif yang
mencoba memecahkan sebuah kasus besar dibekali petunjuk minim.
Mengasyikkan bagi penonton dewasa karena guliran pengisahannya sebisa
mungkin mencoba menjauhi penyederhanaan persoalan, menyenangkan pula
bagi penonton cilik yang mungkin saja baru pertama kali merasakan
pengalaman menonton seperti ini. Hanya saja, kala Judy dan Nick telah
semakin dekat ke akar persoalan, Zootopia kian terasa kelam pula
agak njelimet dalam pemaparan sehingga sedikit banyak mengurangi kadar
kesenangan film khususnya untuk penonton belia yang mengharap film ini
akan segegap gempita Frozen atau Big Hero 6 (well, saya menjadi saksi mata atas menangisnya dua penonton cilik).
Walau detik-detik klimaks agak ‘mengucilkan’ target utamanya, Zootopia
masih tetap sangat layak diberi kesempatan setidaknya untuk pesan yang
diutarakannya. Oh ya, keberanian yang saya maksud di paragraf pembuka
merujuk kepada kandungan moral Zootopia alih-alih keputusan menghidangkan plot penuh teka-teki ke anak-anak. Seperti halnya film-film animasi Disney lainnya, Zootopia memang masih membicarakan sesuatu yang universal seperti ‘keberanian untuk bermimpi’, ‘usaha keras tidak akan mengkhianati’ atau ‘merubah dunia menjadi tempat lebih baik’,
namun apa yang membuatnya menarik adalah si pembuat film juga
menyisipkan pesan relevan sesuai keriuhan di tengah-tengah masyarakat
modern saat ini perihal ‘prasangka didasarkan stereotip dari ras tertentu’.
Sebuah pesan yang (lagi-lagi) tidak kamu duga akan muncul dari film
animasi Disney, kan? Tanpa pernah terdengar mengkhotbahi, malah justru
mengena cenderung menyentil, inilah salah satu kekuatan yang dipunyai
oleh Zootopia disamping grafis animasinya yang begitu cantik dalam memvisualisasikan setiap distrik di Zootopia
(berharap Disney akan mengembangkannya menjadi serial televisi sehingga
ada kesempatan menjelajah lebih jauh), barisan pengisi suara yang
sangat menjiwai peran masing-masing, serta tatanan penceritaan yang
terbilang seru untuk diikuti.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Post a Comment