A SILENT VOICE
May 9, 2017
REVIEW : A SILENT VOICE
Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name
yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film
anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan
demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa
disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!)
ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai
jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok
buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur.
Karakter inti dari film
adalah remaja laki-laki usia belasan bernama Shoya Ishida (Miyu Irino).
Semasa duduk di bangku sekolah dasar, Ishida mempraktikkan tindak bullying
terhadap seorang murid baru yang tuli, Shoko Nishimiya (Saori Hayami).
Meski ditindas setiap hari, Nishimiya enggan melawan dan justru kerap
melempar senyuman seraya mengucap “maaf”. Mengetahui sang korban tidak
memberikan respon keras, Ishida dan kawan-kawannya justru makin getol
menindas Nishimiya sampai kemudian tindakan mereka melampaui batas dan
ibu Nishimiya pun memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah lain.
Semenjak kepergian Nishimiya, keadaan berbalik arah ditandai dengan
status Ishida yang mengalami degradasi: dari penindas menjadi yang
tertindas. Merasakan sebagai korban perundungan, Ishida menyesali
perbuatannya dan memilih menjadi outsider di jenjang sekolah
berikutnya. Kehidupan Ishida yang erat dengan ‘kesepian’ serta
‘penyesalan’ perlahan mulai berubah tatkala menapaki bangku SMA. Takdir
mempertemukannya kembali bersama Nishimiya. Ishida menyadari bahwa
perjumpaannya dengan Nishimiya merupakan kesempatan terbaik baginya
untuk berdamai dengan masa lalu yang selama ini terus menghantui.
Sejalan dengan materi kupasannya, A Silent Voice
pun berceloteh secara serius. Bisa dikata, mendekati depresif. Bukan
perkara mudah menengok Nishimiya menghadapi perundungan di sekolahnya
tanpa ada seorang kawan pun yang berpihak kepadanya – meski belakangan
dia memiliki kawan baik bernama Miyoko Sahara (Yui Ishikawa) yang
bersedia mempelajari bahasa isyarat. Ketika Nishimiya menghilang, lalu
target berpindah ke Ishida, nada penceritaan pun kian muram. Akibat
gangguan yang diterimanya, Ishida memilih jalur antisosial. Mengikuti
materi sumbernya, si pembuat film pun menempelkan sebentuk silang besar
menyerupai huruf X di wajah teman-teman sekolah Ishida yang
mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan atau keengganan si karakter utama
berinteraksi lebih intensif dengan mereka. Kemuraman lantas sedikit
mencair menyusul kemunculan Tomohiro Nagatsuka (Kensho Ono) yang
memproklamirkan dirinya sebagai sahabat Ishida usai diberi bantuan.
Nagatsuka memegang dua peranan penting dalam film; pertama, memberi
asupan humor, dan kedua, mendorong Ishida untuk bersosialisasi serta
membuka diri pada jalinan pertemanan yang selama ini dipandangnya sinis.
Sampai pada titik ini, meski mood kerap diombang-ambingkan, film sejatinya masih enak untuk dikudap.
Persoalan-persoalan pada
film mulai mencuat ketika sejumlah karakter baru mulai hilir mudik
memasuki arena penceritaan seiring kian terbukanya Ishida. Disamping
Ishida, karakter-karakter lain di A Silent Voice tak pernah
memperoleh jatah waktu memadai untuk memperkenalkan diri. Penonton hanya
mengenal Sahara, Nagatsuka, kemudian ada pula Kawai (Megumi Han),
Yuzuru (Aoi Yuki), Mashiba (Toshiyuki Toyonaga), serta Ueno (Yuki
Kaneko) sambil lalu. Bahkan, Nishimiya pun sejatinya memperoleh
perlakuan serupa. Tokoh-tokoh ini dikonstruksi dalam satu dimensi saja
yang membuatnya berasa hampa. Sosok Nishimiya kelewat putih bersih,
sementara Ueno berada di sisi seberangnya dalam tingkatan ekstrim pula.
Lantaran tidak mampu terhubung kepada barisan karakter ini, rentetan
konflik yang menyertainya pun sukar menjerat dan durasi yang merentang
sampai 129 menit hanya menjadikannya kian melelahkan. Yang lantas
menghindarkan A Silent Voice untuk bergabung dengan ‘film mudah
terlupakan’ adalah pesan penting usungannya yang masih sanggup
tersampaikan secara baik dan penutup manis nan hangatnya yang paling
tidak mampu sedikit mengobati rasa lelah akibat tuturan berlarut-larut
kurang mengikatnya.
Acceptable (3/5)
Post a Comment