IN THIS CORNER OF THE WORLD
June 18, 2017
REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD
“Thank you for finding me in this corner of the world.”
Pada
tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang
dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota
Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa
tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil –
memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama
mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri
berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu peristiwa penting dan
berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Saking pentingnya, industri
perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya
melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya
atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah seperti
dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul asli Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film arahan Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle)
yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk
rekonstruksi sejarah dengan alur kisah maupun karakter-karakter yang
bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan
cerita fiktif yang mencoba menawarkan perspektif perihal impak perang
terhadap kemanusiaan.
Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World
untuk menggulirkan roda penceritaan adalah Suzu (disuarakan oleh Non),
seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada
menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan
Suzu sedari dia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba,
Hiroshima, pada tahun 1930-an hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa dan
meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya
di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa
Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak
pernah diantisipasinya karena sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan
di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal pria yang tiba-tiba datang
untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung
begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat dia mengatasi
keterkejutannya, sang karakter utama harus sesegera mungkin beradaptasi
dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi Suzu
untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan
jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif agar keluarganya dapat
makan secara layak dan kehadiran kakak iparnya, Keiko (Minori Omi), yang
kerap bersikap dingin kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki
Inaba), menjalin hubungan akrab dengan Suzu.
Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan harapan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies
(1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama.
Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak
terperi dari si karakter utama – Sunao Katabuchi memilih untuk
melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak
meletup-letup, optimis, serta positif dalam memandang kehidupan. Memang
sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta
tak sampai, perjodohan, kakak ipar yang jutek bukan main, stok makanan
serba terbatas, sampai peperangan yang merenggut kebebasan maupun
orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara
dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara
tenang mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala dingin.
Alhasil, In this Corner of the World tidak menjelma sebagai
tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) seperti kerap dibayangkan
banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir
sedemikian rupa sampai pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya.
Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada
alur yang mengalun cenderung tenang-tenang menghanyutkan ala film
berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.
Mengingat
kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari
kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan
bom di sekitar tempat tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam
menuturkan kisah ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang
terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa
karakter kunci yang memiliki peranan dalam kehidupannya. Menariknya,
Suzu bukanlah sesosok karakter yang lempeng apalagi hambar. Dia terlihat
sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk,
dan agak ceroboh sampai-sampai kerap memantik kejadian-kejadian konyol
di sekelilingnya seperti tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya
bergelimpangan atau salah dikira sebagai mata-mata karena menggambar
armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif
dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang
hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang
acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World
mulai menunjukkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu karakter
kunci tewas akibat terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap
sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman
menyelinap masuk.
Sedari
titik ini, kita bisa melihat seberapa besar impak perang terhadap
kemanusiaan. Sikap optimis dan positif yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World
juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para karakter
bertindak dalam menyikapi duka yang menyelimuti, bagaimana cinta,
pengampunan dan kebaikan hati dapat membantu memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan harapan. Meski bukan
berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat
mampu bangkit begitu pula beberapa karakter penting yang berhasil
selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.”
Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala
dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu
merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti
disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan
awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati.
Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World
akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria
dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari
keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau
seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan
air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk
menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada akhirnya, In this Corner of the World
adalah sebuah hikayat memikat mengenai tragedi yang dihamparkan secara
indah berkat goresan-goresan gambar yang sederhana namun amat indah,
jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti
kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan
emosi ketika akhirnya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena dampak
dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.
Post a Comment