DESPICABLE ME 3
July 11, 2017
REVIEW : DESPICABLE ME 3
“Face it, Gru. Villainy is in your blood!”
Saat
ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna
kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama
kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung
membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya,
Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai
logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil
menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana
mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang
begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang
terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh
dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa
Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak
tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3
dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan
instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga
dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun
kuantitas. Mampukah?
Dalam Despicable Me 3,
Gru (disuarakan oleh Steve Carell) yang kini telah menikahi rekannya
dalam Liga Anti Penjahat, Lucy (Kristen Wiig), ditugaskan untuk
menggagalkan aksi pencurian berlian dari seorang mantan aktor cilik era
80-an yang bertransformasi menjadi penjahat berbahaya, Balthazar Bratt
(Trey Parker). Ketidakberhasilan Grucy – akronim untuk Gru dan Lucy –
dalam menghentikan sepak terjang Balthazar berujung pada pemecatan. Di
tengah upaya mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya, Gru
dikejutkan oleh datangnya berita bahwa sebagian besar Minion enggan
mengabdi lagi padanya, lalu ayah kandung yang tidak pernah ditemuinya
telah berpulang dan dia memiliki saudara kembar bernama Dru. Ditemani
oleh Lucy bersama dengan ketiga putri ciliknya; Margo (Miranda
Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Nev Scharrel), serta dua
Minion yang masih setia kepadanya, Gru pun bertolak ke Freedonia demi
menemui saudara kembarnya. Kehadiran Gru disambut gegap gempita oleh Dru
yang berharap dapat memperoleh pelatihan untuk menjadi supervillain
dari Gru. Tidak ingin mengecewakan Dru, Gru yang sejatinya telah insyaf
pun mengajaknya terlibat dalam misi merebut kembali berlian dari markas
Balthazar guna menyelamatkan pekerjaannya – sekaligus dunia, tentu saja
– yang dikamuflasekan olehnya seolah-olah ini adalah misi pencurian dua
penjahat berbahaya.
Menapaki seri ketiga, nyatanya franchise Despicable Me
mengalami apa yang dikhawatirkan banyak pihak: pesona yang mengendur.
Apabila disandingkan dengan dua jilid awal, daya pikatnya telah
mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jalinan
pengisahan yang terlalu banyak mau. Ketimbang menempatkan fokus cerita
sebatas pada pengejaran Balthazar, si pembuat film turut memunculkan
cabang-cabang plot lain yang mengulik soal pertemuan Gru bersama saudara
kembarnya, Minions yang membangkang dari Gru lalu berkelana dengan
harapan dapat menemukan majikan baru, Agnes yang mempercayai bahwa ada
unicorn di hutan Freedonia, sampai upaya Lucy untuk menyesuaikan diri
menjadi seorang ibu yang baik bagi ketiga putrinya. Terasa saling
tumpang tindih, penuh sesak dan berdampak pada sebagian besar subplot
yang terhidang kurang matang ke penonton. Tahu-tahu sudah selesai begitu
saja tanpa meninggalkan kesan lebih mendalam. Padahal subplot soal Lucy
sebagai ibu baru berpotensi memberi sentuhan hangat pada film yang
sekali ini urung hadir demi memberikan ruang untuk kegilaan demi
kegilaan yang rasa-rasanya memang diingini sebagian besar penonton –
utamanya penonton cilik. Bahkan sisi kebapakan Gru yang biasanya
memperoleh porsi tersendiri pun agak dikesampingkan dan hanya menyisakan
momen berkesan seperti Gru memberi kecupan selamat tidur pada si bungsu
Agnes di ranjang tinggi yang cukup manis.
Berita baik dari agak berkurangnya sentuhan emosional dalam Despicable Me 3
adalah duo Pierre Coffin dan Kyle Balda menggenjot lawakannya. Memang
tidak semuanya mengenai sasaran, banyak pula yang berakhir garing dan
mengesalkan terutama di bagian Dru. Namun ketika mencapai yang diingini,
bisa benar-benar lucu. Kelucuan paling menonjok dalam film
dipersembahkan oleh siapa lagi kalau bukan para Minion. Keputusan tepat
mereduksi jatah tampil makhluk-makhluk kuning ini karena justru
memperkuat kerinduan sekaligus mengurangi kejengkelan kita pada mereka.
Sekalinya Minion muncul, derai-derai tawa terdengar riuh menggema di
gedung bioskop semacam ditampakkan dalam adegan di penjara yang
menggelikan dan kompetisi menyanyi yang berujung kacau. Disamping
mereka, Gru dan Balthazar ikut berkontribusi agar unsur hiburan di Despicable Me 3
terjaga konstan. Lewat sosok Balthazar yang sayangnya kurang memperoleh
penggalian karakter ini, penonton mendapatkan banyolan dengan referensi
budaya populer cukup pekat yang sebagian besar diantaranya berasal dari
era 1980-an. Iringan lagu-lagu legendaris dari Michael Jackson,
Madonna, a-ha, sampai Olivia Newton John membantu menginjeksikan sisi fun
pada film yang gagal diangkat oleh tembang-tembang anyar gubahan
Pharrell Williams yang sekalipun enak buat dinikmati namun mudah
dilupakan. Ya, enak dinikmati namun mudah dilupakan seperti halnya Despicable Me 3 itu sendiri.
Acceptable (3/5)
Post a Comment