THE EMOJI MOVIE
August 12, 2017
REVIEW : THE EMOJI MOVIE
“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion! I have so much more.”
Kita telah melihat bagaimana riuhnya interaksi antar mainan saat ditinggal pergi sang majikan dalam trilogi Toy Story. Kita telah menyaksikan bagaimana serunya petualangan mengarungi dunia arcade game melalui Wreck-It Ralph.
Dan kita juga telah menjadi saksi bagaimana peliknya pola kerja para
emosi kala menjalankan tugasnya dalam tubuh manusia lewat Inside Out.
Lalu, kapan kita akan mengintip kisah belakang layar para emoji di
ponsel cerdas yang jelas mempunyai kontribusi penting atas kesuksesan
atau kegagalan tersampaikannya suatu pesan teks? Ternyata, tidak
membutuhkan waktu lama bagi petinggi studio di Hollywood untuk
merealisasikannya. Menyadari bahwa fenomena penggunaan emoji di kalangan
generasi milenial kian merebak dan terinspirasi dari kesuksesan yang
direngkuh Disney/Pixar, Sony Pictures Animation pun mengajukan konsep
kurang lebih senada yang tak kalah ambisius mengenai dunia para emoji di
dalam sebuah aplikasi ponsel melalui karya terbaru mereka bertajuk The Emoji Movie. Ditunjuk untuk mengomandoi proyek animasi kedelapan Sony yakni Tony Leondis yang sebelumnya mengarahkan Lilo & Stitch 2 dan Igor.
Protagonis utama dalam The Emoji Movie adalah sebuah emoji berwarna kuning yang mewakili ekspresi ‘meh’
bernama Gene (disuarakan oleh T.J. Miller). Tidak seperti emoji lain di
Textopolis – sebuah kota digital dalam suatu aplikasi perpesanan di
ponsel cerdas milik seorang remaja usia belasan bernama Alex (Jake T.
Austin) – yang merepresentasikan satu ekspresi saja, Gene dapat
menunjukkan berbagai macam ekspresi seperti bahagia, sedih, sampai jatuh
cinta. Kelebihan yang dimiliki Gene ini nyatanya dianggap sebagai
malfungsi bagi sang pemimpin, Smiler (Maya Rudolph), lantaran Gene tanpa
sengaja memasang ekspresi keliru ketika dipilih Alex untuk membalas
pesan kepada gadis yang ditaksirnya. Kekacauan ini menyebabkan Smiler
naik pitam sehingga menitahkan sejumlah bot antivirus untuk
menghapus Gene dari aplikasi. Mengetahui keselamatannya terancam, Gene
pun melarikan diri ke luar aplikasi perpesanan dengan harapan menemukan
cara yang dapat mengubahnya menjadi ‘meh’ sejati. Di
tengah-tengah pelarian, Gene bertemu dengan emoji tos yang terbuang,
Hi-5 (James Corden), dan pemecah kode handal, Jailbreak (Anna Faris),
yang bersedia mengulurkan tangan untuk membantu Gene mengubah jati
dirinya.
Konsep yang diusung The Emoji Movie sebetulnya bisa dibilang unik dan menarik. Jika Wreck-It Ralph membawa kita memasuki dunia di dalam kotak arcade game dan Inside Out memandu kita menyelami otak manusia, The Emoji Movie
mengajak serta penonton untuk menengok kehidupan di dalam suatu ponsel
cerdas dimana masing-masing aplikasi mempunyai komunitasnya
sendiri-sendiri. Sayangnya, high-concept ini tidak dibarengi
dengan naskah mumpuni yang mampu menjerat ketertarikan penonton dari
berbagai lapisan usia secara penuh. Plotnya berikut pesan positifnya
yang masih berkisar pada pencarian jati diri, persahabatan, serta
penerimaan tak pernah digali lebih mendalam dan sekadar berada di
permukaan saja. Selama durasi berlangsung, jangankan Hi-5 dan Jailbreak,
kita tidak benar-benar memahami betul sosok Gene sehingga agak
menyulitkan penonton untuk membentuk ikatan sekaligus memberikan
dukungan penuh terhadap perjuangannya. Yang lantas memunculkan
ketertarikan dalam mengikuti petualangan tiga karakter terpinggirkan ini
adalah bagaimana si pembuat film menggambarkan universe di dalam
ponsel Alex yang dikategorisasi berdasarkan aplikasi. Dalam setiap
aplikasi, senantiasa muncul tantangan dengan tingkat kesulitan beragam
yang mesti ditaklukkan oleh Gene, Hi-5, dan Jailbreak.
Dari tantangan inilah, The Emoji Movie
menunjukkan daya pikatnya. Ada kesenangan tersendiri menyaksikan
bagaimana ketiga protagonis ini berjibaku dengan tantangan menari dalam
permainan Just Dance, bagaimana mereka berjumpa dengan
virus-virus perusak di aplikasi tersembunyi, bagaimana mereka mengatasi
arus yang mengikuti irama musik selama berlayar mengarungi Spotify, dan
bagaimana Gene serta kedua teman barunya berupaya menemukan kata sandi
yang tepat untuk menembus firewall. Ya, pada dasarnya The Emoji Movie
masih berada di level bisa dinikmati dan tidak senista seperti dibilang
para kritikus di luar sana yang menghujatnya habis-habisan seolah-olah
film ini mempunyai kualitas lebih memprihatinkan ketimbang Happily N’Ever After (2006) atau Hoodwinked Too! (2011). Paling tidak, visual dalam The Emoji Movie
terhitung cukup imajinatif dan beberapa lontaran humornya masih ampuh
mengundang tawa renyah sekalipun plotnya kekurangan emosi serta sama
sekali tidak bergigi untuk ukuran film berkonsep tinggi. Penonton cilik
yang menjadi target utama The Emoji Movie pun kemungkinan besar masih akan terhibur oleh pilihan warnanya yang cerah ceria serta animasinya yang hiperaktif.
Note : The Emoji Movie memiliki sebuah adegan tambahan di pertengahan credit title.
Acceptable (3/5)
Post a Comment