COCO
December 2, 2017
REVIEW : COCO
“Never forget how much your family loves you.” 
Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory
 (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan 
bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3
 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi
 Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan 
bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah
 mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out
 bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas 
keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru
 mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos
 (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk
 mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak 
mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco,
 maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main 
dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film 
favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong 
sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya 
mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco. 
Karakter utama dalam Coco
 adalah seorang bocah berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera (Anthony 
Gonzalez) yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pembuat sepatu serta
 mengharamkan permainan musik secara turun temurun. Larangan bermusik 
ini mencuat usai nenek canggah Miguel yang telah dikaruniai seorang 
putri bernama Coco (Ana Ofelia Murguia) ditelantarkan begitu saja oleh 
sang suami yang pergi berkelana demi menggapai mimpinya sebagai seorang 
musisi. Alhasil, Miguel yang memiliki bakat besar dalam hal memainkan 
alat musik serta berdendang ria pun mau tak mau mesti menjalani passion-nya
 ini secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah mengetahui identitas 
sebenarnya dari sang kakek canggah yang telah dihempaskan dari silsilah 
keluarga. Konflik internal dalam keluarga Rivera ini mencapai puncaknya 
pada perayaan Dia de Muertos kala Miguel mencoba untuk 
membuktikan kepada anggota keluarganya bahwa tidak ada yang salah dengan
 musik dan dia berupaya untuk berpartisipasi dalam kompetisi lokal. 
Keputusan Miguel yang membuat berang sang nenek (Renee Victor) 
sampai-sampai gitar miliknya dipatahkan ini membawa si bocah pada 
tindakan nekat, yakni mengambil gitar milik penyanyi legendaris Ernesto 
de la Cruz (Benjamin Bratt) di makamnya. Tindakan nekat tersebut 
seketika menghantarkan Miguel memasuki Dunia Orang Mati dan 
mempertemukannya dengan para leluhurnya.
Dibandingkan
 rekan-rekan sejawatnya sesama pembuat film animasi, Pixar memang bisa 
dibilang berada di level yang berbeda terutama dalam kaitannya 
memperhatikan detil-detil rumit dalam pembuatan animasinya sehingga 
terlihat amat nyata di mata penonton. Tengok saja bagaimana mereka 
mengkreasi helai bulu Sulley dalam Monsters University (2013), ekosistem bahari pada Finding Dory, atau beragam jenis mobil di Cars 3. Menakjubkan. Coco sebagai rilisan terbaru mereka pun tidak jauh berbeda. Sedari menit-menit pembuka, Coco
 telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang 
tergarap mendetail. Penggambaran sudut-sudut desa yang menjadi kampung 
halaman keluarga Rivera terlihat seperti dicuplik dari rekaman gambar 
yang diambil langsung di lokasi ketimbang rekaan para animator 
menggunakan komputer, kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah nenek 
Coco, potongan adegan film klasik yang dibintangi Ernesto di televisi, 
sampai kelenturan jari jemari Miguel kala memetik senar gitar. Ini semua
 diperoleh, bahkan sebelum si protagonis menjejakkan kaki di Dunia Orang
 Mati yang menghadirkan tampilan visual yang lebih gila dan inovatif. 
Sulit untuk tidak berdecak kagum saat kamu melihat apa yang bisa 
diperbuat oleh para tengkorak dalam gerak langkahnya dan panorama penuh 
warna yang ditawarkan di Dunia Orang Mati. 
Bagusnya, Coco
 enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual 
yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah dari Unkrich dan Adrian 
Molina yang mengusung tema utama seputar kematian serta keluarga dengan 
pendekatan yang cenderung riang (sehingga bisa dikudap oleh penonton 
cilik) sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Tiga fase emosi yang sukar dijumpai saat menyaksikan The Good Dinosaur maupun Cars 3
 tempo hari. Fase bersemangat dipantik oleh guliran kisah petualangan 
Miguel menyusuri Dunia Orang Mati demi menjumpai sang idola, Ernesto, 
dan upaya para leluhurnya untuk membawanya pulang ke Dunia Orang Hidup 
yang dipenuhi lika-liku dalam prosesnya. Fase tertawa muncul berkat 
humor-humor kocak yang menyertai perjalanan Miguel, terutama dari Hector
 (Gael Garcia Bernal) yang membantunya melacak keberadaan Ernesto. Dan 
fase tersedu-sedu bersumber dari pesan klasik namun tetap relevan yang 
disodorkan oleh Coco; tidak ada yang lebih penting di dunia ini 
selain keluarga. Bangunan karakter yang mudah untuk diberikan simpati 
(penonton secara sukarela memberi dukungan penuh kepada Miguel untuk 
menggapai mimpinya) membuat setiap emosi yang tersemat dalam sejumlah 
momen dapat tersalurkan seperti semestinya. Kemampuan Coco untuk 
memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan
 kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar memang masih belum kehilangan 
sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!
Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.
Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.
Outstanding (4/5)
 




 
 

 
 
 
 
 
 
 
Post a Comment