MOANA
December 5, 2016
REVIEW : MOANA
“If you wear a dress and have an animal sidekick, you're a princess.” 
Tahun
 2016 menjadi saksi bisu atas pembuktian diri bagi divisi animasi Walt 
Disney bahwa mereka secara resmi telah mengambil alih kembali posisi 
sebagai pembuat film animasi paling terkemuka dari Pixar dengan 
diluncurkannya dua produk hebat, yakni Zootopia dan Moana.
 Ya, tatkala tetangga sebelah tengah menghadapi problematika bernama 
‘inkonsistensi’ yang menyebabkan beberapa karyanya lewat begitu saja 
tanpa kesan, Disney justru kian menggeliat dari tahun ke tahun terhitung
 sedari Tangled (2010). Zootopia memancangkan standar tinggi bagi film animasi dengan penceritaan cerdas pula terhitung berani untuk ukuran Disney, sementara Moana hasil arahan duo Ron Clements dan John Musker (The Little Mermaid, Aladdin) yang menerapkan pola tutur “back to basic” mengingatkan kita sekali lagi kenapa studio ini dapat menjadi raksasa animasi di dunia film. Moana
 menunjukkan bahwa tontonan mengikat tidak melulu harus bersumber dari 
gagasan serba bombastis, malah seringkali kesederhanaan dengan eksekusi 
dan pengemasan yang tepat lebih mampu menghadirkan kejutan-kejutan 
menyenangkan. 
Moana
 membawa kita mengarungi lautan Pasifik untuk kemudian berlabuh di 
sebuah pulau bernama Motunui. Di sana penonton diperkenalkan pada sang 
protagonis, Moana Waialiki (Auli’i Cravalho), yang merupakan putri 
semata wayang sekaligus calon penerus dari kepala suku setempat. 
Dideskripsikan sebagai sosok cerdas, pemberani, serta sedikit 
pemberontak, Moana memiliki impian untuk bisa berlayar melewati batu 
karang yang ditentang keras oleh ayahnya, Tui (Temuera Morrison), karena
 satu dan lain hal. Moana lantas nekat mewujudkan impiannya tersebut 
setelah kesehatan ekosistem di Motunui tiba-tiba menurun drastis, 
mengetahui jati diri sukunya yang sesungguhnya, dan memperoleh dorongan 
dari sang nenek, Gramma Tala (Rachel House), yang mempercayai Moana 
sebagai satu-satunya harapan untuk menyelamatkan tempat tinggal mereka. 
Ditemani seekor ayam yang bodohnya kebangetan, Heihei, Moana yang 
sejatinya minim pengetahuan berlayar ini harus mengarungi samudera luas 
untuk menemukan Maui (Dwayne Johnson), manusia setengah dewa, yang konon
 dianggap bertanggung jawab atas memburuknya kondisi alam di Motunui dan
 sekitarnya. 
Ditinjau dari garis besar cerita, Moana
 memang tak tampak mengusung plot progresif. Masih berkutat pada topik 
pencarian jati diri berbasis petualangan menyelamatkan tanah kelahiran 
yang telah umum dijumpai di film-film Disney. Tapi seperti halnya Zootopia,
 film ini menyematkan pula materi perbincangan lain yang boleh jadi tak 
pernah terlintas di benakmu akan diobrolkan oleh film animasi keluaran 
Disney pada satu dua dekade silam terkait ketangguhan perempuan – well, Moana jauh lebih feminis ketimbang Frozen
 – hingga menjaga relasi baik dengan alam. Ini jelas menarik, 
menyegarkan, juga relevan. Sang tokoh utama yang notabene perempuan 
digambarkan mempunyai posisi kurang lebih sejajar dengan pria dalam tribe society,
 tangguh secara fisik maupun mental, dan tidak membutuhkan bantuan lawan
 jenis untuk menuntaskan perkara (Maui hanya membukakan jalan untuk 
Moana, itupun karena dialah sumber masalahnya). Mendobrak segala bentuk 
konstruksi perempuan ideal yang diciptakan sendiri oleh film animasi 
Disney lebih dari setengah abad silam. Terdengar, errr... berat? Tak perlu risau, kamu hanya akan menjumpai kerumitan tersebut di ulasan sok njelimet ini karena penceritaan Moana sendiri dilantunkan dalam mood penuh keriaan. 
Keriaan
 timbul dari serentetan momen yang menimbulkan gelak tawa maupun 
perasaan bersemangat penonton. Entah itu disebabkan tingkah luar biasa absurd
 Heihei, interaksi konyol Moana dengan Maui, serangan perompak 
bertopengkan tempurung kelapa, kepiting raksasa narsis, atau amukan 
monster lahar. Selain itu, keriaan juga dipersembahkan oleh barisan 
nomor-nomor musikal melodius gubahan Lin-Manuel Miranda yang karirnya 
tengah mengangkasa berkat popularitas drama musikal Broadway, Hamilton,
 dan Opetaia Foa’i. Mereka menyumbangkan lagu-lagu mudah didendangkan 
semacam “How Far I’ll Go”, “We Know the Way”, “You’re Welcome”, dan 
“Shiny”, yang hampir dapat dipastikan akan melekat kuat di benakmu 
sampai berhari-hari setelah melangkahkan kaki keluar dari gedung 
bioskop. Pengalaman menonton Moana kian terasa mengasyikkan 
karena film ini dihidupkan pula oleh visualisasi menakjubkan (lihatlah 
Motunui! tengoklah lautnya! perhatikanlah tato di tubuh Maui!) beserta 
sumbangsih mengagumkan para pengisi suara seperti pendatang baru Auli’i 
Cravalho yang memancarkan karisma kuat seorang pemimpin dalam diri Moana
 dan membentuk chemistry kocak bersama Dwayne Johnson. Dengan kombinasi serba baik seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian Moana berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan seluruh keluarga yang teramat sangat mengasyikkan.  
    
Note : pastikan untuk tidak terlambat memasuki gedung bioskop karena ada sebuah film pendek bagus berjudul Inner Workings sebelum film utama. 
Outstanding (4/5)
 




 
 

 
 
 
 
 
 
 
Post a Comment